Hidayatullah.com–Dalam melaksanakan peliputan peristiwa bom di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di Kuningan pekan lalu, media massa, terutama media elektronik banyak melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik.
Demikian disampaikan oleh anggota Dewan Pers Divisi Pengaduan Abdullah Alammudi dalam jumpa pers di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Jakarta, Jumat (24/7).
Beberapa pelanggaran yang dilakukan terutama pada penayangan gambar-gambar yang mengerikan, yang bisa mengganggu kondisi psikologi anak-anak yang mengikuti laporan perkembangan peristiwa bom Kuningan ini.
“Media elektronik menampilkan, bahkan men-zoom wajah berdarah-darah para korban. Itu melanggar kode etik,” ujarnya.
Gambaran yang mengerikan tersebut bisa menimbulkan dampak traumatik yang berefek jangka panjang. “Di mana rasa nurani ketika menampilkan itu. Gambar-gambar itu seharusnya bisa diganti dengan sketsa kasar,” urainya.
Tak hanya itu, laporan yang disampaikan oleh reporter langsung dari lapangan, seringkali menggunakan kalimat yang berlebihan yang akhirnya malah memperburuk hasil laporan di layar.
“Mayoritas reporter mengucapkan narasi dengan kalimat, ‘inilah potongan kepala.’ Kalau anak saya mendengar itu, saya kira mereka akan kaget dan menimbulkan rasa ngeri,” terangnya.
Pelanggaran lain yang diungkapkan adalah wawancara dengan istri tersangka yang dilakukan dengan gaya interogratif, padahal polisi saja tidak segalak itu dalam melakukan penyelidikan.
“Seharusnya dalam melakukan wawancara mampu menumbuhkan sikap empati pada keluarganya,” terangnya.
Semua kesalahan tersebut tak dapat dilimpahkan kepada reporter yang bertugas di lapangan, tetapi juga tanggung jawab produser atau pengambil kebijakan di media tersebut. Namun ia tidak berani mengatakan, adanya tekanan dari pemilik modal untuk membuat berita sedramatis mungkin demi kepentingan bisnis.
Ia tak tahu dan merasa menyesal, mengapa tradisi jurnalisme elektronik yang sudah berumur belasan tahun di Indonesia tidak mengalami kemajuan pada upaya peliputan yang lebih berkualitas.
Menanggapi hal tersebut, salah satu perwakilan dari ANTV mengakui, kondisi di lapangan memang tidak selalu sesuai dengan apa yang ada di teori.
Sementara itu Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Soekarna dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, media telah menjadi alat bagi para teroris untuk menimbulkan rasa takut masyarakat dengan tayangan selama 24 jam secara terus-menerus dan menampilkan hal-hal yang mengerikan.
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara berpendapat, keberadaan media memang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, tetapi penyampaian laporan kepada masyarakat ini jauh lebih baik daripada upaya pembungkaman seperti zaman orde baru dalam kasus di Aceh dan Papua, yang seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Sayangnya, antara KPI dan Dewan Pers juga tak menyinggung pelanggaran lain. Misalnya penjatuhan vonis yang mendahului pengadilan (trial by the press) oleh media kepada orang-orang yang dituduh teroris, yang ternyata kemudian keliru. [ant/hat/cha/hidayatullah.com]