Hidayatullah.com—Menurut rencana, malam ini, sekitar pukul 24.00 WIB, peserta Konferensi Gay dan Lesbian Se-Asia disepakati harus mulai meninggalkan hotel tempat mereka menginap.
Kesepakatan ini merupakan hasil negosiasi antara Forum Umat Islam (FUI) Surabaya, Kepala Polres Surabaya Selatan AKBP Bahagia Daci, perwakilan Panitia Konferensi Pujianti, dan seluruh peserta konferensi.
Menurut Arukan Jaswadi, salah satu jurubicara dari FUI, waktu meninggalkan hotel disepakati dua tahap. Tahap pertama untuk peserta lokal dan tahap kedua untuk peserta internasional.
“Yang berasal dari Indonesia harus meninggalkan hotel paling lambat pukul 24.00 malam nanti. Sedangkan untuk peserta luar negeri menyesuaikan jadwal penerbangan, “ujarnya kepada hidayatullah.com.
“Kita juga sepakat, peserta konferensi tidak boleh memberikan pernyataan apapun kepada media,” ujar Arukat. Peserta konferensi juga dilarang menggelar pertemuan apapun yang menyangkut isu-isu terkait gay, lesbian dan biseksual.
Usai kesepakatan, perwakilan massa dari FUI berangsur–angsur meninggalkan hotel. Namun, beberapa perwakilan mereka tetap berada di hotel untuk mengawasi hingga pukul 24.00 nanti. Mereka ingin memastikan, apakah peserta konferensi gay benar-benar meninggalkan hotel atau tidak.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, peserta Konferensi Gay, Lesbian dan Biseksual se-Asia (ILGA), yang semula dijadwalkan mengadakan acara di Hotel Mercure, Surabaya ternyata berpindah di Hotel Oval, di Jalan Diponegoro, Surabaya, tempat mereka menginap selama ini. Namun acara itu dikemas seperti pertemuan biasa.
Meski diselenggarakan secara diam-diam, tak urung massa dari FUI telah mencium kegiatan mereka.
Sultan Ikut Menolak
Di tempat terpisah, dari Yogyakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Gubernur Daerah Istimewa (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X juga ikut menolak wacana Yogyakarta dijadikan tempat konferensi International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and Intersex Association (ILGA) Ke-4 tingkat Asia.
“Yogyakarta sebagai kota budaya tidak etis untuk dijadikan ajang seperti itu. Di tempat lain saja tidak diizinkan, kok di Yogyakarta malah mau diizinkan,” katanya di Yogyakarta, Jumat (26/3).
Menurutnya, wacana menjadikan Yogyakarta sebagai tuan rumah konferensi ILGA Ke-4 tingkat Asia, dari sudut pandang hak asasi manusia memang konferensi tersebut bisa digunakan untuk menunjukkan eksistensi diri komunitas itu.
“Namun, hal itu juga harus dipandang dari sudut etis atau tidak. Jadi, soal etis juga harus dijadikan pertimbangan pemberian izin penyelenggaraan konferensi tersebut,” kata Sultan yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dengan pertimbangan tersebut, menurut dia, konferensi ILGA semestinya tidak mungkin digelar di Yogyakarta. Apalagi, di tempat lain wacana penyelenggaraan konferensi ILGA juga telah ditolak.
“Jadi, penolakan wacana penyelenggaraan konferensi tersebut diambil dengan mempertimbangkan soal etis. Berhubung dinilai tidak etis, wacana penyelenggaraan konferensi itu di sejumlah tempat di Indonesia ditolak,” katanya.
Ia mengatakan, hingga saat ini belum ada konfirmasi dari siapapun terkait wacana Yogyakarta dijadikan tuan rumah konferensi tersebut. Penyelenggaraan konferensi ILGA di Yogyakarta masih sebatas wacana.
“Saya sampai saat ini belum dihubungi oleh siapapun terkait pelaksanaan konferensi tersebut, karena untuk izin penyelenggaraan kewenangannya bukan di tempat saya tetapi di Kapolda DIY, tentunya dengan mempertimbangkan soal etis,” katanya. [ant/cha/hid/hidayatullah.com]
Foto: Anshor/Hidayatullah.com