Hidayatullah.com–Islam, politik, dan kepemimpinan adalah senyawa yang tak terpisahkan. Dari sisi makna bahasa, tidak ada satu pun makna siyasah (politik) yang tercela. Semuanya bermuara pada makna mulia; yaitu mengatur, memimpin, memerintah, dan mendidik.
Dalam konteks siyasah syar’iyah, upaya mengatur, memimpin, memerintah, dan mendidik adalah di bawah kendali syariah.
Menurut pengamat politk Islam Farid Nu’man Hasan, pada dasarnya politik adalah warisan kenabian. Makna politik secara istilah sebagaimana disebutkan Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, adalah aktivitas yang sejatinya memang melahirkan maslahat bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad), walaupun belum diatur oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan wahyu Allah pun belum membicarakannya di zamannya.
“Demikianlah hakikat As Siyasah Asy Syar’iyyah yang dipaparkan oleh para ulama kredibel berdasarkan pemahamannya terhadap kesucian syariat Islam” kata Farid Nu’man saat menjadi pembicara di acara Seminar Indonesia Madani di Auditorium FE Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (02/11).
Penulis buku “Seuntai Bunga Rampai Politik Islam” ini menjelaskan, politik pada dasarnya adalah mulia, penuh keadilan, memiliki maslahat, mengurangi mafsadat, jauh dari kekotoran intrik, atau menghalalkan segala cara. Dengan kata lain, politik merupakan salah satu bentuk amal saleh bagi manusia, baik laki-laki atau perempuan.
Namun. kata Farid, penyikapan dan penilaian manusia terhadap politik hari ini telah berubah seiring perubahan realita politik itu sendiri, setelah diracuni oleh pemikiran Nicolo Machiaveli, yakni tubarrirul wasilah (menghalalkan segala cara).
“Politik hari ini telah jauh dari dasar-dasar syariat, dan telah berkiblat kepada politik kezaliman yang dikembangkan oleh para tiran,” tukasnya.
Politik hari ini, telah mengalami penyempitan medan amalnya, yakni seputar pada kepemimpinan, kekuasaan, pemerintahan, kebijakan negara, dan perundang-undangan. Menurutnya, inilah gambaran politik yang langsung ada di kepala masyarakat saat ini, baik kaum terpelajar atau orang awam.
Farid menjelaskan, bicara politik tidak akan jauh dari itu semua. Hal itu benar jika dikatakan sebagai bagian dari politik saja. Sebab As Siyasah Syar’iyyah yang di dalamnya terdapat keadilan Allah dan Rasul-Nya, tidak mungkin hanya dirasakan dan berada di ruang lingkup yang terbatas dan dilakoni oleh segelintir manusia. Tentu, hal itu jauh dari ruh ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Islam, politik, dan kepemimpinan, kata Farid, adalah senyawa yang tak terpisahkan. Politik menurut Islam sendiri adalah memimpin, memerintah, mengatur dan melatih sebuah kaum. Diambil dari kata Arab Saasa, atau manajemen juga administrasi.
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah pun memberikan pendapatnya tentang politik. Disebutkan Farid, sebagaimana dikutip dalam Ath Thuruq Al Hukmiyah Hal. 17 Syamilah, Ibnu Qoyyim berkata, “Tidaklah dikatakan, sesungguhnya politik yang adil itu bertentangan dengan yang dibicarakan syariat, justru politik yang adil itu bersesuaian dengan syariat. Bahkan dia adalah bagian dari elemen-elemen syariat itu sendiri. Kami menamakannya dengan politik karena mengikuti istilah yang mereka buat (Barat). Padahal itu adalah keadilan Allah dan RasulNya, yang ditampakkan tanda-tandanya melalui politik.”
Tetapi, menurut Fadli, realita praktik politik yang ada hari ini bukanlah hakikat politik itu sendiri.
“Lebih tepat disebut sebuah kejahatan yang berdiri sendiri atau ‘penumpang gelap’ dalam dunia politik,” tandasnya. [ain/hidayatullah.com]