Hidayatullah.com — Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI), Tri Heru Wiyono, meminta agar RUU Intelijen yang saat ini masih dibahas di DPR dapat merepresentasi kerja profesional intelijen.
“Menghilangkan trauma atas praktik-praktik intelijen hitam yang dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan rezim politik yang otoriter, menuju pelembagaan pengemban fungsi intelijen negara yang profesional,” kata Tri Heru Wiyono pada acara diskusi publik “Meneropong Pasal-pasal Krusial RUU Kamnas”, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa, (27/9/2011).
Dikatakan Tri, RUU Intelijen Negara perlu merumuskan suatu pasal yang secara tegas mengatur agar personel intelijen bersifat netral dalam kehidupan politik, dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya politisasi intelijen.
Rancangan Undang-undang (RUU) Intelijen Negara yang tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, kembali menuai kritik. Ruang lingkup intelijen negara yang diusulkan dalam RUU dinilai terlalu luas dan berpotensi mengaburkan fokus kegiatan intelijen negara.
“Penetapan ruang lingkup intelijen negara yang bersifat komprehensif, semestinya tidak boleh mengarah kepada pembentukan satu dinas intelijen negara yang memonopoli penyelenggaraan fungsi-fungsi intelijen,”
Penetapan ruang lingkup intelijen, kata Tri, semestinya dikelompokkan dalam empat jenis dinas intelijen yang bersifat spesifik, yaitu intelijen nasional, intelijen strategis, intelijen militer, dan intelijen keamanan.
“Dinas-dinas intelijen yang tidak bergerak pada tataran tersebut tidak perlu diatur dalam RUU Intelijen Negara, tetapi cukup dijadikan sebagai komponen penunjang intelijen negara yang pengaturannya diserahkan kepada regulasi politik instansi induknya,” terangnya.
Kewenangan khusus untuk melakukan kegiatan intelijen agresif menurut Tri, perlu dibatasi. Sehingga tetap berpegang pada kode etik intelijen yang di dalamnya memuat larangan untuk melanggar hak-hak dasar.
“Karenanya, perlu menciptakan mekanisme pengawasan berlapis dan dirumuskan suatu pasal khusus yang berkaitan dengan hak-hak korban. Dan, negara wajib untuk melindungi warga negaranya dengan jaminan kompensasi materiil dan rehabilitasi nama baik jika terjadi penyalahgunaan fungsi intelijen,” jelasnya.
Sementara itu, sejumlah kalangan khawatir RUU Intelijen akan ditingkatkan atau ditambahi pasal-pasal galak menyusul terjadinya ledakan bom bunuh diri di sebuah gereja di Solo, Jawa Tengah, belum lama ini.
Namun DPR menegaskan bahwa penyelesaian dan putusan pembahasan RUU itu tidak terkait dengan kasus-kasus terorisme yang belum lama mencuat dengan meledaknya bom bunuh diri di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, itu.
“Yang jelas penyelesaian RUU ini tetap berjalan sesuai schedule, tidak terkakit kasus-kasus dalam konteks terorisme,” kata Ketua Komisi I Mahfudz Siddik.*