Hidayatullah.com–Sejumlah isu sensitif tentang Arab Saudi dan Islam di Indonesia, menurut Ketua Umum DPP Hidayatullah, Nashirul Haq Lc MA, harus selesai, jika kerjasama kedua negara, Indonesia dan Arab Saudi, ingin dijalin secara mesra.
“Isu wahabi, Islam Arab, dan Islam Nusantara, serta persoalan haji, tenaga kerja wanita (di Arab Saudi), hendaknya sudah clear, sehingga tidak mengganggu hubungan yang harmonis selama ini,” kata Nashirul usai menghadiri jamuan delegasi Kementerian Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi, Dr Ahmad Jiilan di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selata, Kamis (02/03/2017) malam.
Nashirul sendiri pada siang harinya sempat menghadiri undangan untuk mendengarkan sambutan Raja Salman, Raja Kerajaan Arab Saudi, di Gedung Nusantara III DPR RI. Raja Salman dikhabarkan berada di Indonesia selama 9 hari, yakni sejak tanggal 1 -9 Maret.
Menurut Nashirul, Raja Salman dalam sambutannya telah memberi sinyal positif akan terjalinnya kerja sama kedua negara. Bahkan, kerja sama ini diharapkan akan berkembang ke semua bidang, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan keagamaan, hingga ketenagakerjaan.
Baca: Dai Saudi: Persatuan Saudi dan Indonesia Bisa Satukan Ahlussunah
Deputi Menteri Bidang Dakwah pada Kementerian Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi, Dr Ahmad Jiilan, saat menerima utusan dari DPP Hidayatullah menyatakan sepakat untuk mengusung dakwah wasathiyah dalam bingkai ahlus sunnah wal jama’ah, yaitu dakwah yang mendidik dan mencerahkan umat, serta bersikap tasamuh (toleran) dalam masalah furu’ (cabang).
Pernyataan senada diulang kembali oleh Jiilan saat berbicang dengan sejumlah wartawan Islamic News Agency (INA) usai bertemu utusan dari Hidayatullah di hotel yang sama. Menurutnya, berlapang dada terhadap perbedaan sesama Muslim adalah aspek penting dalam penyebaran dakwah Islam.
Baca: Perkuat Wasathiyah, MUI Gelar Pertemuan dengan Media Islam
Para aktivis dakwah, katanya, lebih baik berlapang dada untuk saling menasehati dan tidak terjebak ke dalam fanatisme kelompok. Salah satu wujudnya adalah membuka diri terhadap orang lain dan memperluas referensi.
“Jangan membatasi diri dengan satu atau dua ulama; satu atau dua buku saja (sebagai rujukan). Pakai juga yang lain! Sehingga ketika ada orang yang hendak mengkritik, mereka tidak mendapatkan celah,” jelasnya.
“Saya tidak menyalahkan kalian memakai Syaikh Bin Bazz, karena beliau adalah ulama umat, bukan ulama Kerajaan. Tetapi saya ingin kalian juga mengambil ulama Yaman, Mesir, Suriah, dan juga ulama Indonesia (sebagai rujukan),” katanya lagi.
Sisi lain yang juga perlu diperhatikan, kata Jiilan, kaum Muslim umumnya mengikuti ulama di negerinya.
“Jadi, seiring penghormatan kalian kepada ulama Saudi dan ulama dari negeri lain, kalian juga harus menghormati dan mengambil ilmu dari para panutan umat di Indonesia.”