Hidayatullah.com– Umat Islam di Indonesia bisa lebih cerdas dalam menempatkan permasalahan gender dan feminisme, agar tidak terjebak pada provokasi dangkal kalangan pemuja paham liberal. Pernyataan ini disampaikan Direktur Centre for Political and Developmet Studies (CPDS), Dr Mahmoud Al Hirthani saat ditanya tentang bagaimana menyikapi perkembangan isu gender dan feminisme di dunia Islam.
Menurut dosen di studi antarbudaya di Al Aqhsa University, Gaza ini, secara fitrah, Allah Subhanahu Wata’ala tidak membedakan seorang perempuan dan laki-laki kecuali karena nilai fitrah dan ketakwaannya. Mahmoud menjelaskan ada hal yang bisa dilakukan oleh perempuan dan tidak bisa dilakukan oleh laki-laki begitupun sebaliknya.
Seharusnya pada saat itu yang ditemukan adalah titik keserasian di antara keduanya bukan kesetaraannya. Ia mencontohkan kasus di Palestina.
“Di Palestina peran lelaki dan perempuan sama-sama memiliki kevitalan yang sama. orang-orang Palestina berhasil membesarkan anak-anak karena adanya komparansi dalam kerjasama antara lelaki dan perempuan,” jelasnya kepada hidayatullah.com
Dr Mahmoud menjelaskan salah satu kesuksesan anak-anak Palestina berhasil menghafal Al-Qur’an adalah karena para ibu menempatkan diri sebagai madrasah pertama dari anak-anak di dalam sebuah keluarga.
Sementara seorang ayah menjadi sayap keluarga bukan hanya pada masalah mencari nafkah, tapi juga ujung tombak dalam tarbiyah (pendidikan) keluarga dan aktivitas keumatan dalam menyokong kebangkitan Jalur Gaza.
Dalam pemahamannya, wanita dalam Islam memang harus patuh dan taat kepada suaminya. Namun sering juga para suami berbuat semena-mena dengan alasan syariat. Nah, yang terakhir ini menurutnya juga tidak benar.
Secara pribadi, Mahmoud mengambil contoh dengan memuji kemampuan istrinya dalam memanagemen keluarga bahkan mengurus jadwal pribadinya. Peran istrinya bahkan melampaui kemampuan managemen pribadinya. Pada kondisi seperti itu ia mengakui bahwa laki-laki memang harus tetap memberi ruang kreatifitas kepada perempuan untuk berkarya bagi kebaikan keluarga.
“Tapi ketika saya menyuruh dia (istrinya, red) sesuatu maka dia tetap patuh dan menempatkan saya sebagai qowam (pemimpin keluarga),” jelas laki-laki yang merupakan orang asli dari Jalur Gaza Palestina ini.
Dari situ, Dr Mahmoud mengingatkan tentang betapa pentingnya keutamaan dari tarbiyah islamiyah di dalam sebuah keluarga agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami posisi lelaki dan perempuan.
Baginya, lelaki tetap pemimpin keluarga, namun itu bukan berarti lelaki bisa seenaknya mendikte seorang istri.*