Hidayatullah.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam usaha kelompok yang mendorong pemerintah untuk melarang khitan pada perempuan. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan menilai upaya pelarangan khitan sangat mencederai hak beragama umat Islam.
“Kami tidak mewajibkan khitan perempuan, tapi melarangnya secara mutlak itu jelas melanggar fitrah Islamiyah dari hak beribadah kami,” demikian tegasnya dalam konferensi pers di kantor MUI, Senin (21/01/2013).
Menurut Anggota Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, asal muasal upaya pelarangan khitan perempuan berangkat dari sentiment kelompok feminis dan liberal. Padahal menurutnya, titik temu antara perbedaan pendapat ini sudah selesai dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia No 1636 tahun 2010.
Permenkes ini menurut Niam tidak mewajibkan khitan perempuan kecuali bagi umat Islam yang menyakini bahwa ini perlu dilakukan.
“Permenkes ini adalah solusi yang bijak dan arif, namun kalangan pembela gender masih terus mempermasalahkannya,” jelas lelaki yang juga Komisioner Bidang Agama dan Budaya KPAI ini.
Sementara itu, KH Ma’ruf Amin juga mengkritik sudut pandang kelompok liberal yang selalu mengidentikan aturan syariat dengan logika medis.
Menurutnya, bahwa khitan pada laki-laki ada efek samping medis yang baik itu baru diketahui di masa sekarang.
“Sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam, ada atau tidaknya efek medis khitan pada laki-laki adalah perintah syariat maka dia harus dilakukan,” tegas Ketua MUI Pusat bidang Fatwa ini.
Karena itu, kekhawatiran apapun terhadap khitan perempuan, ketika ada umat Islam yang ingin melakukannya karena landasan syariat.
“Maka itu wajib untuk dipenuhi oleh pihak rumah sakit, bidan dan pihak media manapun,” jelasnya lagi.
Menurut dia, MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa khitan bagi perempuan adalah “makrumah” atau ibadah yang dianjurkan.
Ma’ruf juga menjelaskan bahwa memang terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang khitan perempuan. Menurutnya ada ulama yang menganggapnya wajib, sunnah dan makruh.
MUI sendiri sudah mengeluarkan fatwa terkait khitan perempuan yaitu hukumnya adalah makruh. Adapun teknisnya pelaksanaannya tidak sama dengan khitan perempuan pada budaya Afrika yang memotong habis klitoris wanita.
“Ini salahnya kelompok yang ingin melarang khitan perempuan, mereka tidak paham tapi sudah menghakimi secara general,” tegasnya lagi.
Dalam hal ini Ma’ruf menilai menarik kesimpulan medis atas sebuah aturan syariat adalah cara pikir yang bias terhadap agama.
Seperti diketahui, istilah khitan terhadap perempuan terjadi perbedaan mendasar antara Islam dan aktivis feminisme dan gender. Menurut Kiai Ma’ruf, khitan perempuan dalam Islam hanya membersihkan sedikit saja bagian terluar klitoris.
Mufti Mesir Syeikh Ali Jum’ah juga pernah mengatakan, khitan pada wanita berbeda dengan khitan pada pria. Sementara itu, kalangan feminism menyebutnya female genital mutilation (FGM). Padahal menurut Ali Jum’ah khitan perempuan hanya digores, bukan dipotong. Apalagi menghilangkan sekali bagian tubuh wanita.*