Hidayatullah.com– Berbagai bentuk kekejian rezim Myanmar telah dialami etnis Muslim Rohingya. Mulai pembunuhan, penindasan, penyiksaan, pengusiran, hingga pemerkosaan. Penderitaan mereka sangat panjang untuk diceritakan dalam sebuah tulisan.
“Tidak cukup satu buku saudara-saudara untuk menggambarkan penderitaan umat Islam Rohingya,” ujar Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al-Khaththath di depan ribuan umat Islam.
Pernyataan tersebut disampaikan Khaththath sebelum membacakan siaran pers lima tuntutan FUI atas kekejian rezim Myanmar, dalam Aksi Solidaritas Selamatkan Muslim Rohingya Arakan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (03/05/2013).
Selain lima tuntutan tersebut, siaran pers sebanyak tiga lembar itu juga mengulas secara singkat sejarah Muslim Rohingya di Myanmar.
Di situ juga mengulas latar belakang kekejian dan konspirasi rezim Myanmar terhadap penduduknya yang beragama Islam. Di antaranya disebutkan, penggunaan istilah “bentrokan/perselisihan biasa” atau “antar masyarakat” sangatlah tidak relevan untuk kekerasan yang terjadi di Myanmar.
FUI dalam siaran persnya merinci, sedikitnya ada tujuh catatan ringkas kekejaman yang sedang berlangsung terhadap Muslim Rohingya. Pertama, lebih dari lima ribu orang dibunuh dengan berbagai cara. Dan lebih dari 120.000 Muslim Rohingya digusur dari tanah mereka sendiri.
“Kaum Muslim terpaksa tinggal di kamp-kamp konsentrasi di pinggiran Sittwe,” tulis FUI.
Kedua, para Muslimah dan anak perempuan di bawah umur diperkosa oleh aparat militer dan lainnya.
Ketiga, properti kaum Muslim dijarah setiap hari, masjid dan tempat-tempat ibadah mereka ditutup.
“Ini akan segera menjadi tahun di mana mereka tidak bisa shalat di masjid,” tulis FUI.
Keempat, orang-orang Muslim berpendidikan dan orang-orang tak bersalah telah ditahan tanpa kesalahan apapun.
“Kelima, sejumlah besar uang Muslim diperas tiap hari,” masih tulis FUI seperti dibacakan Khaththath.
Keenam, orang-orang Muslim disiksa secara tidak manusiawi di sel-sel rahasia.
Ketujuh, akses Muslim terhadap makanan dan obat-obatan diblokir, menyebabkan banyak yang mati kelaparan. Dan kini mereka terserang wabah penyakit.
Menurut Khaththath, ulasan dalam siaran pers tersebut terlalu singkat untuk menggambarkan betap pedihnya penderitaan Muslim Rohingya.
“Karena penderitaan ini sudah berpuluh-puluh tahun dan tidak ada yang peduli,” lanjutnya.
“Mudah-mudahan dengan (aksi) kepedulian ini, seluruh bangsa Indonesia peduli, pemerintah peduli, sehingga kita bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kita,” harapnya.*