Hidayatullah.com–Sudah 33 tahun yang lalu, PBB mengharuskan banyak negara untuk meratifikasi konvensi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita).
Apabila membaca konvensi ini secara sekilas, akan terlihat bahwa konvensi ini sangat mengistimewakan perempuan dan sangat menghargai perempuan. Tapi siapa mengira bahwa ternyata konvensi ini sangat berbahaya bagi keluarga Muslim dan menghancurkan tatanan keluarga Muslim yang sudah terbangun dengan baik.
Pernyataan ini disampaikan Ir. Kamilia Helmy President of the International Islamic Committee for Woman and Child (IICW), saat menjadi pembicara dalam Dialog “Temu Pakar Keluarga Dari Mesir” yang diadakan oleh PP Wanita Islam di Aula Komp. DPR RI belum lama ini.
Wanita asal Mesir ini rupanya memperhatikan betul isi konvensi yang lahir pada tahun 1979 ini. Karena itulah, menjelaskan banyak kejangggalan dan bahaya dari isi konvensi yang kini dinilai banyak mempengaruhi isi Draf RUU Kesetaraan Gender (KKG).
“Kalau kita melihat judul dari konvensi ini, sepertinya ini adalah judul yang sangat indah, konvensi ini sepertinya mengistimewakan perempuan, siapa yang tidak ingin perempuan diistimewakan? Namun, apakah konvensi ini memang benar-benar mengistimewakan perempuan?,” tanyanya pada para pengurus ormas dan komunitas perempuan yang hadir.
Ia juga mengungkapkan bahwa melalui konvensi CEDAW, Barat menginginkan agar anak-anak perempuan tidak menjadi seorang ibu. Padahal menjadi seorang ibu adalah fitrah.
“Ibu adalah ikatan yang membelenggu seorang wanita. Sementara masyarakat Muslim tidak sama dengan masyarakat Barat. Barat membuat persepsi-persepsi negatif pada perempuan. Seperti perempuan itu lemah karena menghabiskan waktunya dengan hamil dan melahirkan. Dan menganggap hal tersebut sebagai diskriminasi,” ungkapnya dengan berapi-api.
Legalisasi Kondom
Melalui makalahnya, sarjana lulusan teknik ini memaparkan sejumlah negara yang sudah mempraktikan paham kesetaraan gender.
Contohnya seperti di India yang sudah melegalkan kondom dengan menyediakan ATM-ATM Kondom. Lain lagi dengan sebuah Rumah Sakit di Kanada yang sudah mengaborsi secara legal, hanya dalam waktu setengah hari saja 6 bayi dibuang begitu saja ke tempat sampah.
Sementara di Kuwait, para pegiat Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) terus menyuarakan hak-hak mereka, dengan membawa sejumlah poster.
“Mereka menginginkan LGBT diakui oleh Undang-Undang dan diberikan hak secara penuh dengan memperbolehkan perkawinan secara resmi. Mereka tidak akan berhenti memperjuangkan sebelum negara mengakui mereka. Mereka memaksakan diri untuk memasukkan hak-hak mereka ke dalam Undang-Undang,” terangnya.
Sedangkan, apabila kita lihat di Israel, orang-orang Yahudi melakukan pendidikan terhadap anak laki-laki dan perempuannya dengan cara dipisah. Masing-masing laki-laki dan perempuan punya tugasnya sendiri.
Kamilia mengungkapkan, bahwa anak-anak pra sekolah di Barat sudah diberikan pelajaran seks seperti bagaimana melakukan hubungan seks yang aman, pengenalan kondom dan bagaimana cara memakai kondom.
“Barat juga memperbolehkan aborsi yang legal dan aman. Kalau ada anak-anak yang melakukan aborsi maka ia harus dilayani dan apabila dilarang maka ia boleh melapor ke Polisi,” jelasnya.
Selain itu, sebagian negara sudah memberikan aturan bahwa menikah hanya pada usia tertentu atau dengan kata lain tidak ada “Nikah Muda” dalam kamus mereka.
“Berubahnya usia layak menikah bagi remaja maka akan memberikan peluang-peluang bagi remaja untuk melakukan hubungan-hubungan di luar nikah,” tanggapnya lagi.
Praktik kesetaraan gender (KKG) menurut Kamilia, tidak akan berjalan secara maksimal tanpa adanya dukungan besar dari PBB. Sebab PBB dinilai memberikan pendanaan yang luar biasa kepada Lembaga-lembaga yang mendukung mereka.
Menariknya, di tengah maraknya negara peratifikasi CEDAW yang berlomba-lomba untuk mencapai MDG’s (Millenium Development Goals) dan masyarakat berperspektif gender, ada 3 negara tidak meratifikasi CEDAW. Mereka adalah; Sudan dan Somalia.*/Sarah Khalifatunnisa