Hidayatullah.com — Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang dakwah dan ukhuwah, KH Cholil Nafis, mengatakan sistem khilafah tak bisa diterapkan di Indonesia. Hal itu ia sampaikan dalam kajian dakwah internasional Komisi dakwah MUI dengan tema ‘Pengarusutamaan Moderasi dalam Konstitusi Beragama’, Selasa (12/4/2022).
Dalam kegiatan tersebut, Cholil menyampaikan bahwa Islam tidak pernah memberikan model pasti yang tepat untuk dijalankan dalam bernegara, apakah itu dengan model khilafah, imaroh, maupun demokrasi. Menurutnya, sebuah negara itu tergantung pada kesepakatan yang telah ditentukan.
“Jadi, kalau kita memastikan khilafah, itu sama saja kita memastikan sesuatu yang sifatnya ijtihadi. Demikian juga kalau kita mengkultuskan Demokrasi sebagai satu satunya cara yang memberikan keadilan, itu juga sama dengan mengkultus,” ujar Cholil.
Cholil mengungkap sistem khilafah sendiri sebenarnya bisa saja diterapkan dalam bernegara, namun sistem tersebut tidak tepat jika diterapkan di negara Indonesia. Hal itu, menurutnya, karena negara Indonesia sudah memiliki kesepakatan tersendiri terkait hal tersebut.
Cholil mengacu pada Undang Undang dasar 1945 pada pasal 28 e ayat satu, dua dan tiga. Yang berbunyi:
Ayat 1: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Ayat 2: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Ayat 3: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
“Hal tersebut sangat menjelaskan bahwa kita diberikan kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan. Hanya saja kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain,” kata Cholil.
Ia kemudian menuturkan bahwa pengambilan tema terkait konstitusi dan kebangsaan sangat strategis untuk dibahas pada saat ini.
“Konstitusi dan kebangsaan ini sangat strategis untuk kita kaji. Jadi, maqosidu syari’ah nya kita bernegara itu adalah baldatun toyyibatun wa robbun ghofur. Kalau dalam bahasa konstitusi ada empat, yaitu perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan juga perdamaian,” tutur Cholil.
Dalam beragama dan bernegara, Cholil menyampaikan, keduanya ibarat saudara kembar, yang mana agama diibaratkan sebagai dasarnya, sementara negara diibaratkan sebagai penjaganya.
“Kalau tidak ada dasar atau pondasinya, kita tidak akan bisa membangun. Jangankan ingin membangun dua sampai lima lantai, baru membangun satu lantai saja sudah roboh,” tuturnya.*