Hidayatullah.com–Syafril Nasution, Corporate Affairs Director PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), yang mewakili pihak penyelenggara Miss World 2013 membantah jika kegiatan Miss World dapat merusak akhlak dan tidak sesuai dengan adat ketimuran seperti yang disebut banyak pihak.
“Jangan samakan Miss World dengan konser Lady Gaga yang buka-bukaan dan jingkrak-jingkrak. Dari penampilannya Lady Gaga memang tidak sesuai dengan budaya bangsa,” kata Syafril kepada hidayatullah.com di kantor RCTI di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa (14/05/2013) siang.
Dalam ajang Miss World ini, jelas Syafril, tidak ada sesi berbikini. Menurutnya, konsep Miss World berbeda dengan konsep Miss Universe yang masih ada sesi berbikini.
“Memang ada (di Miss World) sesi berpakaian pantai, kami sebut beach fashion. Desainnya asli Bali yang memakai selendang, sehingga menutupi tubuh dan terlihat lebih sopan. Dan sesi ini konsestan tidak diwajibkan,” jelasnya.
Syafril menjamin apa yang dikatakannya ini bukanlah kamuflase untuk mencari dukungan. “Ini fakta. Karena pada even sebelumnya di China, tidak ada acara berbikini,” tegas Syafril.
Sementara di tempat yang sama Adjie S Soeratmadjie, Head of Corporate Secretary Division PT RCTI mengatakan jika ajang Miss World ini juga tidak ada sesi vital statistics yakni mengukur anggota tubuh dari bagian konsestan.
Adanya penolakan terhadap penyelenggaraan Miss World di Indonesia tidak hanya terbatas pada persoalan para konsestan berbikini atau pun tidak.
Sebelumnya, Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Yunahar Ilyas belum lama ini mengungkapkan, kontes seperti itu tidak pantas dilakukan di tengah masyarakat Muslim seperti Indonesia. Kontes kecantikan apapun bentuknya yang menjadikan perempuan sebagai objek penilaian, itu tidak layak dilakukan.
“Penolakan ini bukan soal bikini saja, tapi melombakan perempuan tidak pantas,” kata Yunahar seperti dikutip Republika, Jumat (12/04/2013).
Yunahar menambahkan, keikutsertaan Indonesia dalam ajang seperti ini adalah masalah sendiri. Hal itu adalah budaya barat yang sudah masuk ke Indonesia. Padahal, ujar Yunahar, tidak ada budaya Indonesia seperti itu. Perempuan-perempuan itu tidak sadar mereka sudah masuk perangkap budaya populer Barat.*