Hidayatullah.com — Ketua Umum PP Mulimat Nahdlatul Ulama, Khofifah Indar Parawangsa, mengatakan sudah pernah mengadu soal pentingnya penguatan program pembekalan pra nikah ke pemerintah secara langsung dengan menemui Menteri Pendidikan, Menteri Agama, dan BKKBN.
“Saya temui mereka, muter saya. Sampai akhirnya diagendakanlah budget di DPR (untuk program tersebut) tapi kemudian masuk di Direktorat Pendidikan non Formal. Akhirnya saya datangi lagi Pak Nuh tapi tidak ada solusi,” kata Khofifah kepada hidayatullah.com, Selasa (19/11/2013) kemarin.
Pernyataan ini dia sampaikan Ketua Umum PP Mulimat NU itu menanggapi banyaknya kasus perceraian di Indonesia.
Khofifah saat itu mengadu langsung untuk mendesak pemerintah agar mengaktifkan dan mendukung program pembinaan pra nikah berjenjang bagi siapa saja yang akan menikah.
Pada tajun 2011 Khofifah mengaku telah menghadap ke Kepala BKKBN Sugiri Syarief waktu itu, ke Menteri Pendidikan Muhammad Nuh, dan ke Menteri Agama Suryadharma Ali, untuk mengusulkan vitalisasi program pembekelan pra nikah itu.
Saat menemui Menteri Pendidikan Muhammad Nuh, Khofifah menyampaikan kepadanya bahwa kalau yang memberikan training pra nikah itu orang PNS melalui sistem pendidikan non formal, nanti mereka tidak mengerti Surah Luqman sementara kandungan Surah Luqman-lah yang berisi pesan edukasi kekeluargaan.
“Jadi yang menanamkan Ketauhidan itu Bapak loh, saya bilang begitu. Sampai saya menyebut, Yaa bunayya laa tusyrik billah. Tugas bapak loh yang mengajarkan anak shalat,” kata Khofifah berkisah.
Khofifah menjelaskan, seorang tutor pra nikah harus benar-benar orang yang ahli dan terkonsentrasi. Pasalnya kalau ada tutor di training pra nikah yang tidak paham diantara tanggungjawab kedua orangtua ketika mereka punya anak bisa justru memunculkan masalah lain.
Kendati demikian, training pranikah menurut Khofifah bukanlah satu-satunya solusi mencegah penyimpangan hubungan dan perceraian tapi paling tidak itu akan menjadi starting point untuk kewaspadaan bersama.
“Banyak hal yang menjadi penyebab perceraian, yang dalam Pengadilan Agama disebutkan ada 13 item yang menjadi pemicunya,” tukasnya.
Sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar belum lama ini angka perceraian di Indonesia tiap tahunnya terus meningkat. Setiap tahunnya bisa mencapai 212.000 kasus. Angka tersebut
jauh meningkat dari 10 tahun yang lalu, yang mana jumlah angka perceraian hanya sekitar 50.000 per tahun
Parahnya lagi hampir 80 persen yang bercerai adalah rumah tangga yang usianya terbilang muda. Selain itu, hampir 70 persen perceraian yang terjadi adalah cerai gugat. Dengan kata lain, Nasaruddin menilai lebih banyak perempuan yang mengajukan gugatan perceraian.*