Sambungan artikel Pertama
Mewujudkan Visi Kampus Peradaban
Hidayatullah.com | IDE-IDE KH. Abdullah Said sudah bersemi sejak muda. Ketika menjadi Ketua Biro Da’wah dan Publikasi Muhammadiyah Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra), Muhsin Kahar –namanya saat itu—sudah bersemangat untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Itu memang cita-cita organisasi Muhammadiyah.
Cita-cita itu terasa amat “mengganggu” aktivitas sehari-harinya. Muhsin mencoba melakukan berbagai aksi, salah satunya gerakan nahi munkar terhadap merebaknya kemaksiatan.
Muhsin dan kawan-kawan melakukan penggerebekan judi di Makassar. Akibatnya, dia menjadi incaran aparat, kemudian mengembara ke berbagai tempat hingga akhirnya berlabuh di Balikpapan.
Visioner
Beberapa saat berkiprah di Balikpapan, Abdullah Said mampu menghimpun anak-anak muda yang begitu bersemangat dalam dakwah. Muncul keinginan pula pada dirinya untuk menambah ilmu ke Timur Tengah. Berangkatlah ia ke Jakarta, untuk selanjutnya bermaksud ke Kuwait.
Namun atas nasihat seorang pria, Abdullah Said mengurungkan niatnya. Dia memilih kembali ke Balikpapan, bertekad mewujudkan cita-cita besarnya.
Dalam perjalanan menuju Balikpapan, ia singgah di Yogyakarta. Di sinilah Abdullah Said bertemu dengan para aktivis mahasiswa yang kemudian menjadi pendiri Hidayatullah.
Para pemuda itu amat tertarik dengan berbagai penjelasan Abdullah Said. Juga cita-citanya yang melompat jauh ke depan. Pernyataannya kadang membuat geleng-geleng kepala, antara kagum dan setengah tidak percaya.
Sebagai contoh, waktu awal menjejakkan kaki di hutan Gunung Tembak (tahun 1973) yang kemudian menjadi lokasi Pesantren Hidayatullah, Abdullah Said mengatakan: “Tempat ini jangan dilihat sekarang yang masih terdiri atas hutan belukar yang sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi yakinlah beberapa tahun yang akan datang tempat ini akan berubah menjadi tempat yang menarik dan ramai dikunjungi orang. Dari sinilah kita akan bertolak untuk merambah ke seluruh Kaltim. Dan, Anda-Andalah yang akan menggurat sejarah yang patut dicatat dengan tinta emas.”
Kawan-kawannya sulit percaya, jika melihat kondisi saat itu yang memang masih berupa hutan. Lokasinya pun jauh di sana, sekitar 33 kilometer dari Kota Balikpapan. Apalagi Kiai Abdullah Said dan kawan-kawan belum punya modal untuk membangun pesantren dan semacamnya.
“Mungkinkah ucapan itu akan terwujud? Sangat jauh rasanya kalau melihat realitas yang tengah dialami waktu itu,” kenang Hasan.
Namun cita-cita itu terus digantung setinggi langit. Bergerak dan terus bergerak. Ikhtiar tiada henti dan seolah tiada jeda.
Ketika lahan yang tergarap baru sekitar tiga hektar, itupun belum optimal, Abdullah Said sudah memutuskan untuk membeli lahan lagi. Tidak tanggung-tanggung, 120 hektar. Harganya waktu itu Rp 10/m2. Untuk apa lagi?
Kata Kiai Said, “Bahkan kalau mampu membebaskan tanah sampai pinggir laut, kita akan lakukan juga. Suatu saat kita akan bikin pelabuhan di sana, supaya kalau kita punya kapal selam bisa bersandar di situ.”
Belakangan barulah para kader dan santri tahu bahwa memang Abdullah Said itu seorang leader (pemimpin) yang visioner. Buktinya, lahan sebegitu luas itu sekarang telah menjadi kampus yang asri dan nyaman.
Itulah sebabnya jika ada kader Hidayatullah di berbagai daerah yang mendapat wakaf tanah berupa hutan atau semak belukar dan lokasinya di pedalaman, Abdullah Said mengatakan, “Terima saja. Itu rezeki dari Allah SWT.”
Kini terbukti sudah, banyak kampus Hidayatullah di daerah yang dulunya terpencil, seperti “di ujung dunia”, namun kini telah ramai dan menjadi tempat yang strategis.
Terasi Sampai Helikopter
Abdullah Said kerap mengajak para kader untuk berkaca kepada Sirah Nabawiyah. Nabi Muhammad SAW menyiapkan kader perintis, yakni para Sahabat. Akhirnya tegaklah peradaban Islam di Madinah dan Makkah.
“Kalau kita belum bisa mendunia, ya paling tidak di Asia. Kalau tidak bisa Asia, ya Asia Tenggara. Kalau Asia Tenggara tidak bisa, ya Indonesia. Kalau tidak bisa juga, ya satu provinsi. Tidak bisa provinsi ya kabupaten, atau kecamatan,” ujarnya.
“Untuk Indonesia ada 27 provinsi (saat itu), tidak perlu banyak-banyak kader. Cukup 27 orang. Di tiap provinsi itu kita pasang ‘gardu-garu listrik’. Tinggal pencet tombol generator di Gunung Tembak, maka seluruh Indonesia akan menyala.”
Pikirannya juga mendunia, “Ustad Anshar nanti kita kirim ke Inggris.Ustad Manshur Salbu kita kirim ke Prancis!”
Anshar Amiruddin adalah aktivis mahasiswa dari Makassar yang kemudian bergabung dengan Hidayatullah di Gunung Tembak. Manshur adalah rekan Abdullah Said di Pelajar Islam Indonesia (PII) yang kemudian menjadi “sekretaris pribadi”.
Ketika lahan Gunung Tembak masih berupa hutan, Abdullah Said sudah mempunyai berbagai rencana yang belum terpikirkan oleh kawan-kawannya.
“Kita akan disiapkan semua kebutuhan, mulai dari terasi sampai helikopter,” ujarnya dalam sebuah ceramah.
Bahan makanan akan diproduksi sendiri semisal tempe, tahu, kecap, dan lain-lain. Hal ini dapat membuat ekonomi warga menjadi mandiri, mampu menyerap tenaga kerja, dan yang lebih penting adalah menjaga kehalalan produknya.
“Nanti kalau mau belanja, tinggal telepon saja. Malamnya kita catat apa saja keperluan kita, maka sebelum Shubuh barang yang kita butuhkan itu sudah ada di depan rumah.”
Kenapa begitu? Salah satu tujuannya agar ibu-ibu tidak terlalu banyak keluar rumah. Jika kaum wanita banyak berkeliaran di luar rumah, maka akan ada banyak potensi pelanggaran syariat.
Waktu itu belum ada telepon genggam atau delivery order (layanan pesan antar). Namun gagasan ke arah sana sudah terencana rapi di benaknya.
Ketika di Gunung Tembak waktu itu baru ada sebuah sepeda motor, Abdullah Said mengatakan, “Nanti motor akan jadi seperti sandal.”
Sebagian teman tersenyum geli, apa iya? Ternyata sekarang sepeda motor benar-benar ada dimana-mana dan diparkir berjejer seperti sandal.
Kata-kata Abdullah Said kadang seperti melamun atau bahkan “membual”. Namun di mata Hasyim HS, bisa dikatakan bahwa 90% lamunan itu terjadi, atau malah mendekati 100%. Ada yang sudah tercapai final, ada yang masih perlu pembenahan, dan ada yang sudah mengarah ke sana.
Abdullah Said rupanya menangkap pula ada sebagian kadernya yang belum memahami perkataannya. “Saya yakin tidak semua dapat memahami apa yang saya ungkapkan. Tapi bersyukurlah kalau Anda memahami bahwa ada yang tidak Anda pahami dan akan berusaha untuk memahami.”* (bersambung)