Hidayatullah.com— Mantan Ketua Umum Partai Politik Islam Masyumi (PPIM) Abdullah Hehamahua (63) memiliki kenangan cukup membanggakan saat bergaul dengan para tokoh partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Melalui partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta inilah ia mengaku belajar banyak tentang sikap dan keteladanan tokohnya.
Mantan penasehat penasihat KPK mengaku waktu itu ia menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) 1979-1981. Kedudukannya seakan tak ada jarak dengan tokoh-tokoh Masyumi. Ia bahkan selalu bertanya dan bahkan sering mengkritik langsung pada tokoh-tokoh Islam tersebut.
Di forum itu Abdullah muda menanyakan soal kebijakan DD. Abdullah pernah bertanya pada Sjafruddin Prawiranegara tentang pengembalian mandat setelah Soekarno-Hatta kembali dari pembuangan di Bengkulu.
Kekosongan pemerintahan pada saat keduanya masih dalam pembuangan, latar belakang pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
“Pak Sjaf, mengapa setelah menjadi Presiden PDRI kemudian mengembalikan mandat?” tanyanya. Bagi Sjafruddin, penunjukkannya sebagai Presiden PDRI oleh Soekarno-Hatta, hanya untuk sementara. Karena itulah pemerintahan yang diresmikan tanggal 22 Desember 1948, dikembalikan mandatnya tanggal 13 Juli 1949.
Walaupun penunjukkan itu dikukuhkan melalui sidang terbatas kabinet Yogyakarta, namun Ia memandang amanah yang diembannya sebatas mengisi kekosongan pemerintahan. Bukan untuk menguasainya.
“Saudara Abdullah, Masyumi itu Partai Islam. Maka menggunakan akhlak Islam. Bung Karno dan Bung Hatta sudah bebas, jadi saya kembalikan mandat itu,”ungkap sosok yang sangat diniliai sederhana itu.
Keheranan Abdullah juga mengenai tokoh Masyumi lainnya, Muhammad Roem. Saat Roem menjabat Menteri Dalam Negeri, tidak satupun orang Masyumi yang menjadi Gubernur.
Lagi-lagi Abdullah bertanya mengenai sebabnya. Jawaban berikutnya semakin menguatkan hati Abdullah untuk memperjuangkan kebangkitan Masyumi.
“Saudara Abdullah, Masyumi adalah Partai Islam. Menggunakan ketentuan-ketentuan Islam. Kalau tidak ada orang Masyumi di daerah yang memenuhi syarat, untuk apa kita tunjuk jadi Gubernur?” demikian kenang Abdullah menirukan jawaban Sjaf kala itu.
Forum Nasi Bungkus
Abdullah mengingat dengan jelas aktivitasnya setiap hari Jum’at di Dewan Dakwah, Jakarta, awal 1980. Di mana suka makan nasi bungkus bersama orang-orang besar yang berperan dalam kemerdekaan RI. Seperti Muhammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Muhammad Roem, Boerhanuddin Harahap, merupakan sederetan nama besar yang menghadiri forum tersebut dengan belasan orang lainnya.
Saat itu, Abdullah masih berusia 30 tahun. Ia baru saja keluar dari penjara karena ikut berdemontrasi bersama ribuan mahasiswa dalam peristiwa “Malapetaka 15 Januari 1974” (Malari).
Di ruangan bawah Dewan Da’wah (DD), setiap selesai sholat Jum’at ada kebiasaan makan nasi bungkus bersama.
“Di manapun shalat Jum’at-nya, tetap harus datang dan kami disediakan nasi bungkus,” kenang Abdullah dalam seminar “Refleksi Spirit Perjuangan Partai Masjumi di Indonesia” yang diselenggarakan di Aula Masjid Al-Furqan DD, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2013) kemarin.
Menurut Abdullah, terdapat tiga generasi yang menghadiri forum tersebut. Generasi pertama yakni generasinya Muhammad Natsir. Sedangkan generasi kedua seperti Naryono dan Muhammad Soelaeman. Abdullah bersama Husein Umar serta Endang Jauhari, dikategorikan sebagai generasi ketiga.
Sembari makan nasi bungkus bersama, tiga generasi itu membahas peta politik dan kondisi umat Islam saat itu.
Dalam analisa mereka, rezim Orde Baru hanya tinggal menunggu waktu akan tumbang. Karena itulah DD membentuk tim yang merumuskan Indonesia 10, 25 sampai 100 tahun mendatang.
Ketiga generasi itu meyakini lengsernya Soeharto adalah saat yang tepat bagi kebangkitan Masyumi.
Menurutnya, atas kesepakatan bersama, ditunjuklah Boerhanuddin Harahap dan Abdullah sebagai ketua Steering Comitee dan Sekertaris Steering Comitee.
Abdullah hanya sempat mencicipi kebersamaan dalam forum Nasi Bungkus tersebut selama empat tahun. Tahun 1984, Abdullah hijrah ke Malaysia karena dijadikan target operasi TNI AD.*