Kamis, 27 Oktober 2005
Hidayatullah.com–Berdasarkan analisa data Departemen Pertahanan AS, sedikitnya 21 dari 44 orang yang tewas saat berada dalam tawanan AS di Iraq dan Afghanistan adalah korban dari pembunuhan dan biasanya meninggal selama atau setelah diinterogasi. Analisa yang dilakukan American Civil Liberties Union (ACLU), dikeluarkan Rabu (26/10), mengacu pada 44 korban tewas yang dijabarkan dalam data-data yang berhasil dikumpulkan ACLU.
Dari jumlah keseluruhan, kelompok tersebut mengkarakteristikan 21 orang diantaranya sebagai pembunuhan, dan sedikitnya delapan orang tewas akibat perlakuan kasar para personil militer atau intelijen, seperti strangulasi (pencekekkan) atau “luka akibat benda tumpul”, berdasarkan laporan hasil otopsi korban-korban itu.
Ke-44 korban tewas itu mewakili sebagian kelompok dari jumlah keseluruhan tawanan yang meninggal dalam tawanan AS di luar negeri; lebih dari 100 meninggal secara wajar dan akibat kekerasan fisik.
Dalam satu kasus, laporan itu mengungkapkan, seorang tawanan tewas akibat dicekik selama diinterogasi petugas intelijen militer pada November 2003 silam.
Sementara pada kasus lain yang disebutkan laporan itu, seorang tawanan tewas akibat sesak napas karena kurang zat asam di darah dan luka akibat benda tumpul setelah ia dibiarkan berdiri, dibelenggu diatas kosen pintu, dengan mulut tersumbat.
Seorang warga sipil Afghanistan, diyakini ACLU bernama Abdul Wahid, tewas dengan luka “akibat benda tumpul” pada tahun 2003 silam di pangkalan militer di propinsi Helmand, Afghanistan, berdasarkan laporan hasil otopsi yang dikeluarkan Pentagon. Wahid (28), ditangkap milisi Afghanistan di rumahnya dan dituduh sebagai teroris.
Hasil otopsi itu menyebutkan ia tewas dalam tawanan AS, meskipun ayahnya menyalahkan para milisi tersebut.
Daftar terperinci mengenai para tawanan tewas yang dianggap laporan itu sebagai pembunuhan termasuk dua tawanan yang digigit dan tewas dengan luka “akibat benda tumpul” di pusat penawanan Bagram Airfield di Afghanistan.
Awal Oktober, Damien Corsetti, pemeriksa intelijen militer dengan 519 MI Batalyon di Forth Bragg, Karolina Utara, menjadi tantam ke-15 yang menghadapi tuduhan-tuduhan sejak kematian-kematian tahun 2002 silam.
Keterangan terperinci mengenai penyiksaan tawanan dan tawanan yang tewas telah dikeluarkan Pentagon sebagai bagian dari tuntutan perkara Kebebasan Informasi Hukum yang diajukan ACLU. Banyak insiden telah di laporkan masyarakat sebelumnya, dan dalam sejumlah kasus, para tentara dan intelijen yang terlibat ditahan dan dihukum.
“Militer AS tidak mentolerir perlakuan kasar terhadap para tawanan,” kata jubir militer Kolonel Joseph Curtin. “Kasus-kasus lalu telah diinvestigasi penuh. Ketika ada bukti-bukti mendukung, para Panglima memiliki hak prerogatif untuk menangkap pelaku,” tambahnya.
Hingga saat ini, lebih dari 400 investigasi terhadap penyiksaan para tawanan, dan lebih dari 230 personel militer telah diadili di pengadilan militer dan dijatuhi hukuman non-judical atau dikenal sanksi administrasi. (hp/ps/sib/cha)