Hidayatullah.com–Pancasila telah mengalami perubahan signifikan, terutama pada sila pertama. Tafsir sila pertama Pancasila, selalu tergantung pada perawatnya, tergantung rezim yang berkuasa.
Sebagai contoh, pada era Orde Lama, Pancasila dirawat oleh Soekarno yang pengagum Karl Marx. Karena itu sila pertama kemudian ditafsirkan supaya bisa menerima sosialisme.
“Pada zaman Orde Baru, Pancasila dirawat oleh Soeharto seorang penganut kejawen, yang kehidupannya penuh mistik. Soeharto menafsirkan sila pertama juga untuk menguntungkan pemahamannya,”demikian disampaikan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab saat menjadi pemateri Pengajian Politik Islam (PPI), di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta, Ahad lalu.
“Tafsir Pancasila seperti apa, tergantung siapa yang merawatnya. Pancasila zaman Soekarno, maka Pancasila yang lebih sosialis-Komunis. Pancasila zaman Soeharto, maka mengarah pada mitologi karena Soeharto kejawen dan menyukai hal-hal mistis, sampai akhirnya Pancasila dimitologikan sehingga lahir Hari Kesaktian Pancasila,”ucapnya.
Lebih lanjut peraih gelar sarjana jurusan Studi Agama Islam (Fikih dan Ushul), King Saud University, Riyadh, Arab Saudi itu memaparkan, jika di zaman Soekarno melalui Pancasila lahir Partai Komunis Indonesia (PKI), maka di zaman Soeharto lahir aliran kebatinan (kepercayaan) yang disahkan oleh TAP MPR. Padahal kebatinan tidak masuk dalam Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kini, di era reformasi, ternyata Pancasila ditafsirkan dengan selera liberal. Sebab menurut Habib rizieq, kaum liberal-lah yang kini berkuasa. Karena itu, sila pertama Pancasila selalu ditafsirkan untuk melindungi aliran sesat.
Mengisi Pembangunan
Penulis buku “Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah” juga menyinggung bawah dasar negara Indonesia dibingkai dalam Piagam Jakarta berupa lima dasar.
Pertama, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga. persatuan Indonesia. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Malah sebelumnya, bunyi sila pertama adalah ‘ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, tanpa diikuti kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’. Tetapi kemudian muncul kompromi dengan menambah kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’,”ungkapnya.
Perubahan sila pertama, menurut Habib, karena ada tarik-menarik pendapat antara para ulama yang masuk dalam Panitia Sembilan sidang BPUPKI dengan orang-orang sekuler.
Menurut mantan Ketua Umum FPI itu, sidang BPUPKI berjalan alot. Pendapat terbelah antara kelompok sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah tentu menginginkan negara berdasarkan aturan Islam. Namun itu ditentang kelompok sekuler.
Ia juga menyebut keterlibatan para ulama; KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH Abdul Qohar Muzakkir (Muhammadiyah), KH Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso-keduanya dari Syarikat Islam, yang merupakan nama-nama ulama yang ikut merumuskan dasar negara versi Piagam Jakarta.
Malangnya, pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana sidang BPUPKI sebelumnya.
Dalam sidang itu diputuskan ada tujuh kata dalam sila pertama yang dicoret: ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Belajar dari sejarah bangsa, pria kelahiran Jakarta 1965 itu menegaskan, umat Islam sebagai pelaku sejarah di negeri ini seharusnya mengisi pembangunan republik dengan landasan syariat Islam.
Sebelumnya, ia juga sempat mengatakan Indonesia telah menerapkan 75 % nilai-nilai syariat Islam. Terbukti diperbolehkannya menjalani ibadah shalat, haji dan umroh, hadirnya lembaga pendidikan Islam, berdirinya pengadilan agama, penggunaan hukum waris Islam, serta menjamurnya bank syariah, sebagai bukti syariat Islam telah ditegakkan.
Ia juga mengingatkan umat Islam tidak sibuk mempedebatkan boleh tidaknya demokrasi dan sebagaiknya berfokus merebut kekuasaan melalui Pemilu.*