Lanjutan artikel PERTAMA
Oleh: Musthafa Luthfi
Semakin dekat
Lengsernya rezim Saleh bukannya memunculkan pemerintahan baru yang kuat yang mendapat dukungan negara-negara Teluk yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (GCC), akan tetapi sebaliknya membuka peluang gerakan separatisme mewujudkan impiannya untuk mengembalikan eksistensi negara Yaman Selatan. Impian itu pun semakin dekat setelah dalam dua pekan belakangan ini, milisi Syiah al-Hautsi atau Al Houthi yang sejak Saleh lengser mengusung nama “Ansharullah” hampir menguasai seluruh wilayah bagian utara Yaman.
Perluasan pendudukan Ansharullah praktis tidak menemui perlawanan berarti sehingga dengan mudah menguasai instalasi-instalasi vital pemerintah termasuk kamp-kamp militer sehingga saat tulisan ini dibuat tinggal daerah Taiz yang masih berada di bawah kontrol pemerintah. Taiz yang terletak berbatasan dengan Yaman Selatan pada masa kerajaan pernah menjadi ibu kota negara Yaman Utara.
Ailisi Ansharullah hampir dipastikan tidak akan menghadapi banyak kesulitan untuk menguasai daerah yang paling padat penduduknya di Yaman itu apalagi pemerintah transisi pimpinan Presiden Mansour Hadi semakin tidak berdaya. Seperti diketahui para elit Syiah (Hautsiyun) ditengarai ingin mengembalikan masa kepemimpinan dinasti kerajaan Syiah yang berkuasa di Yaman Utara sebelum berdirinya negara republik lewat revolusi menumbangkan dinasti Syiah tahun 1962.
Kekacauan bersenjata yang diciptakan Ansharullah yang mengarah ke perang saudara sektarian di wilayah utara Yaman, akhirnya mendorong gerakan Gerakan Selatan memanfaatkan situasi tersebut untuk semakin leluasa menyiapkan memisahkan diri. Dalih pemisahan diri sebelumnya tidak kuat dan belum mendapat dukungan 100 % warga selatan apalagi setelah dicapai kesepakatan negara federal awal tahun 2014 antara mayoritas elit politisi Yaman.
Sebelumnya, ketidakadilan pembagian hasil bumi, ketimpangan pembangunan utara-selatan dan dominasi utara atas pos-pos pemerintahan serta penguasaan bisnis migas menjadi alasan utama tututan pemisahan. Dengan tercapainya kesepakatan negara federasi, masalah tersebut dapat teratasi karena setiap wilayah mendapat hak otonomi mengurus hasil bumi masing-masing.
Aksi Ansharullah menguasai wilayah utara yang diluar kesepakatan dialog nasional akhirnya mencuatkan kembali kemerdekaan menjadi opsi utama selatan yang mendapat dukungan kuat warga selatan. “Situasi Yaman saat ini memberikan peluang besar dibandingkan waktu-waktu sebelumnya bagi elit selatan untuk mewujudkan kembali negara Yaman Selatan,” papar sejumlah pengamat.
Ansharullah yang mengontrol sebagian besar wilayah utara tidak begitu peduli dengan situasi di selatan karena target utamanya adalah mengembalikan masa keemasan mereka di utara sementara selatan diberikan peluang untuk memilih tetap bersatu dalam naungan negara federasi atau opsi merdeka. Dengan situasi yang semakin kacau di utara tentunya logis bila para pemimpin selatan lebih memilih opsi merdeka.
Terlebih lagi adanya kecurigaan banyak pihak yang menilai kontrol Ansharullah di utara yang dicapai dengan mudah tanpa perlawanan tentara pemerintah sebagai bukti nyata adanya konspirasi antara al-Houtsi dengan mantan Presiden Saleh. Para petinggi militer dan sebagian pasukan pemerintah yang masih loyal kepadanya dicurigai bersekutu dengan al-Houtsi untuk menghancurkan pemerintahan transisi.
Seperti diketahui meskipun Al-Hautsi dan Saleh berbeda platform politik dan idiologi namun memiliki kepentingan yang sama yakni menghalangi oposisi berkuasa di negeri itu. Persekutuan al-Hautsi-Saleh, ibarat malapetaka bagi rakyat Yaman termasuk warga selatan yang tentunya tidak ingin lagi dipimpin oleh kroni-kroni Saleh yang dibonceng al-Hautsi sehingga kemerdekaan menjadi opsi ideal bagi mereka.
Warga selatan juga nampaknya tidak ingin melihat wilayahnya sebagai lahan subur pengaruh Al-Qaidah akibat melemahnya kontrol pemerintahan pusat setelah hengkangnya mantan Presiden Saleh sehingga perlu diupayakan pemerintah yang kuat di selatan tanpa harus terus mengekor ke utara yang mengalami kekacauan menyeluruh. Kondisi seperti ini tentunya membuka jalan lebih lebar bagi kembalinya Yaman seperti sebelum tahun 1990 atau kembali menjadi dua negara.
Bukan solusi
Pada saat sebagian elit pemimpin selatan sudah bertekad untuk berpisah dengan dalih tidak ingin kekacauan besar di utara menjalar ke selatan timbul pula pertanyaan besar di kalangan rakyat apakah pemisahan kembali Yaman Utara dan Yaman Selatan sebagai solusi yang membawa perubahan lebih baik bagi mereka? Sebagian pihak masih meragukan bila “perceraian“ adalah solusi tepat.
Bahkan banyak kalangan yang menilai pemisahan kembali dua Yaman justeru akan menambah permasalahan di utara dan selatan secara bersamaan karena tidak ada kekuatan yang dominan yang dapat mengatasi konflik atau perseteruan bersenjata. Sejarah masa lalu sebelum unifikasi mungkin masih belum terlupakan saat kedua negara selalu terlibat konflik bersenjata yang menjadi penghambat utama pembangunan.
Di selatan sendiri hampir dipastikan akan terjadi pergulatan kekuasaan antara loyalis Ali Salim Al-Beidh dan elit lainnya yang berseteru dengannya yang menjadi penyebab kekalahan telak saat perang saudara tahun 1994 ketika mereka mendukung rezim Saleh. “Intinya dalam situasi saat ini, pemisahan bukan solusi tapi akan menambah kekacauan di utara dan selatan,” papar sebagian pengamat.*/bersambung Yaman, konflik internal dan intervensi asing
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman