Hidayatullah.com–Tuduhan negatif yang dikemukakan oleh Raihan Diani mantan ketua Organisasi Perempuan Aceh Demokratik (ORPAD) terhadap hukum syariat yang berlaku di Aceh dinilai pembohongan publik.
“Tuduhan tersebut hanya klaim dari Raihan dan orang sejenis Raihan yang anti syariat Islam. Penegakan Syariat Islam di Aceh tidak pernah menciptakan masalah atau ketegangan. Syariat Islam justru mendatangkan kemaslahatan dan kedamaian di Aceh,” demikian disampaikan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA, Rabu (21/01/2015) dalam rilisnya yang disampaikan pada hidayatullah.com.
Pernyataan Yusran Hadi ini disampaikan terkait pernyataan Raihan Diani, mantan ketua Organisasi Perempuan Aceh Denokratik (ORPAD) pada acara “Diskusi Syariat Islam di Aceh dan Kesejahteraan Perempuan” hari Jumat (16/01/2015) di Bakoel Cafee Cikini Jakarta yang mengatakan hukum syariah di Aceh acapkali menghasilkan ketegangan.
Menurut Yusran pernyataan aktivis perempuan itu hanya pembohongan publik. Sebab apa yang dirasakan rakyat Aceh justru sebaliknya.
“Ini yang dirasakan oleh umat Islam di Aceh selama ini. Bisa jadi, syariat Islam itu menjadi masalah dan momok yang menakutkan bagi orang-orang yang anti syariat, baik itu dari pihak luar non Muslim maupun pihak dalam yang mengaku “muslim” seperti orang sekuler, liberal, pluralis dan gender. Kalau ini yang dimaksud, iya benar. Karena mereka tidak akan pernah senang dan rela dengan syariat Islam seperti ditegaskan dalam Al-Quran,” ujarnya.
Syariat Islam yang berlaku di Aceh, ujar Yusran, saat ini merupakan aspirasi dan tuntutan rakyat Aceh. Bukan kepentingan elit politik atau penguasa seperti yg dikatakan oleh Raihan.
“Syariat Islam di Aceh merupakan hasil perjuangan rakyat Aceh yang cukup panjang dan pengorbanan yang besar. Rakyat Aceh harus berjuang untuk dapat memberlakukan syariat Islam dengan mengangkat senjata, mengorbankan harta dan jiwa, demi tegaknya syariat Islam di Aceh,” ujarnya.
Jadi, syariat Islam di Aceh merupakan perjuangan rakyat Aceh yang cukup lama dan memakan biaya yang mahal. Bukan pemberian gratis untuk kepentingan elit politik atau penguasa.
Lebih lanjut, ia mengatakan, Raihan dan teman-temannya tidak mengerti sejarah Aceh dan sejarah lahirnya hukum syariat di Aceh.
Dulu pada masa kerajaan Islam di Aceh, syariat Islam sudah diberlakukan. Lalu datang penjajah yang melarang syariat Islam. Setelah Indonesia merdeka, Aceh di minta bergabung dengan Indonesia. Aceh menyetujuinya dengan syarat berlaku syariat Islam di Aceh seperti dulu sebelum datang penjajah. Namun Soekarno tidak menepati janjinya untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh sesuai dengan tuntutan rakyat Aceh. Maka timbullah perjuangan bersenjata dari rakyat Aceh untuk memisahhan diri dari Indonesia. Konflik ini baru dapat diselesaikan ketika tuntutan rakyat Aceh untuk menegakkan syariat Islam di Aceh di kabulkan.
“Jadi, pemberlakuan syariat Islam di Aceh dari dulu sampai saat ini murni tuntutan dan aspirasi rakyat Aceh. Sayangnya, Raihan tidak paham atau pura-pura tidak paham terhafap realita dan fakta sejarah ini. Raihan justru membalikkan fakta sejarah.”
Para aktivis perempuan dinilai terpengaruh dengan paham sesat gender sehingga dengan seenaknya menuduh bahwa syariat Islam tidak memberikan kesejahteraan kepada perempuan.
“Justru sebaliknya syariat Islam telah memberikan kesejahteraan kepada perempuan. Dalam syariat Islam, wanita dihormati dan dimuliakan. Hak dan kewajibannya telah diatur dengan adil sesuai fitrahnya sebagai seorang wanita,” ujarnya.*