Hidayatullah.com- Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harist Abu Ulya meminta masyarakat supaya kritis menanggapi Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
“Sebab, substansi SE tersebut potensial bisa melahirkan masalah dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Kenapa demikian?” tanya Harist saat dihubungi hidayatullah.com melalui pesan singkat, Kamis (05/11/2015).
Pertama, menurut Harist, masyarakat yang bermoral dan beradab adalah dambaan semua orang di Indonesia. Dan tatanan beradab membutuhkan piranti berupa norma-norma adat atau dalam wujud regulasi.
“Kendati demikian, sebuah ketentuan regulasi itu tidak boleh kemudian mengkebiri hak-hak dasar masyarakat untuk melakukan kritik atau amar makruf nahi munhkar kepada penguasa atau sesama anggota masyarakat,” ujar Harist.
Kedua, Harist mengatakan, SE Kapolri tersebut bukan regulasi atau norma hukum, namun itu tuntunan teknis bagi pihak aparat keamanan untuk menghadapi persoalan terkait ujaran kebencian. Justru, di sinilah titik krusialnya, karena SE itu potensial melahirkan blunder hukum dalam kehidupan sosial politik masyarakat karena SE bukan regulasi dan norma.
“Di samping soal substansi SE terkait diksi ‘ujaran kebencian’ atau diksi ‘kebencian’ dan ‘menyebarkan kebencian’ itu sangat ambigu,” imbuh Harist.
Menurut Harist, tafsirnya bisa sangat subyektif tergantung kepentingan. Terlebih lagi obyek jangkauannya yang begitu luas, semisal untuk para khotib atau pengkutbah, pengajian, ceramah agama, dakwah dimedia cetak maupun media online.
“Tentu ini akan melahirkan problem baru,” kata Harist yang juga pengamat terorisme.
Ketiga, Harist menuturkan, kalau melihat munculnya SE dalam konteks konstalasi politik kenegaraan yang lagi didera banyak masalah dan bisa dibilang kondisi status quo yang cukup kritis maka SE ini tampak sekali motif kepentingan politik status quo memboceng di dalamnya.
“Status quo yang bernafsu menjelma menjadi rezim otoriter dengan alasan membangun keadaban,” cetus Harist.
Keempat, menurut Harist, jika benar motifnya itu adalah membangun keadaban kehidupan sosial politik bermasyarakat maka, tidaklah cukup dengan soal ujaran kebencian yang harus di bereskan, tetapi juga ujaran kebohongan, ujaran penipuan, ujaran penyesatan publik dan lain sebagainya.
“Itu perlu disasar baik itu aktornya adalah penguasa, politikus, kelompok maupun individu,” demikian tandas Harist.*