Hidayatullah.com- Peneliti Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B. Nahrawardaya menilai Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech, tidak jelas penafsirannya.
“Hal itu bisa menimbulkan persoalan baru. Karena itu perlu setiap pasal diberi penjelasan, misalkan ada penghinaan ujaran kebencian di media elektroik, televisi dan lain sebagainya. Kalau andaikata ada politisi-politisi yang berkelahi di DPR dan disiarkan televisi apakah itu sebuah ujaran kebencian?” jelas Mustofa saat dihubungi hidayatullah.com, belum lama ini.
“Atau misalkan Ahok yang sedang diwawancarai, lalu menyebut nama-nama yang sangat jorok dan menjijikkan seperti (mohon maaf sekali) kalimat ‘nenek loe’, anjing dan sebagainya, apakah itu juga disebut sebagai Hate Speech?” imbuh Mustofa.
Menurut Mustofa hal yang paling penting sebetulnya bukan soal suratnya tapi implementasinya di lapangan. Sebab, dikhawatirkan pemerintah atau penguasa bersikap angot-angotan (pilah-pilih,red). Kalau terhadap rakyat miskin sangat garang tapi kepada kaum menengah ke atas sangat lembut.
“Kalau kepada rakyat mungkin polisi akan sigap menangani tetapi kalau kepada pejabat tinggi?” cetus Mustofa.
Sehingga, akhirnya SE tersebut berujung pada persoalan yang berkaitan dengan penegakkan hukum, bukan pada Surat Edarannya. Jadi, menurut Mustofa percuma kalau suratnya banyak tetapi nihilnya penegakkan hukum yang adil dan berimbang.
Karena itu, Mustofa menyimpulkan terbitnya SE ini sebenarnya memiliki tujuan-tujuan gelap. Ia mengugkapkan kalau masyarakat tidak pernah tahu tujuannya untuk apa, sebab sebelum SE Hate Speech tersebut terbit sudah ada atura-aturannya bahkan lengkap dengan sankinya.
“Lantas mengapa masih diterbitkan SE tersebut? Ini sangat tidak lazim.”
Mustofa menambahkan bahwa persoalannya SE sebenarnya bukan pada masyarakat tetapi aparatnya. Sebab, SE tersebut ditujukkan kepada jajaran polisi, bukan kepada rakyat karena merupakan sebuah reminder.
Karena itu, Mustofa memaklumi kalau ada kecurigaan masyarakat yang menilai bahwa SE adalah upaya membungkam sikap kritisnya masyarakat terhadap pemerintah ataupun penguasa. Ia pun menghimbau pada publik dan media supaya tidak khawatir untuk tetap kritis terhadap pemerintah.
“Coba kita uji dan buktikan, saya yakin 99 persen SE ini akan menyasar masyarakat kelas bawah, nggak mungkin menyentuh elit-elit kelas atas seperti birokrat dan selevelnya,” demikian tandas Mustofa.*