Hidayatullah.com– Produksi beras di Indonesia bukanlah minim jumlahnya tapi cadangannya (stok) yang kurang banyak. Seperti impor yang dilakukan Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam rangka menyediakan cadangan beras yang bisa bertahan 5 hingga 6 bulan.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VI DPR Dr Ir Farid al-Fauzi, MMT usai forum dialog bertema “Menjaga Harga Sembako” di Menara Bidakara 2 Lantai 8, Jakarta, Kamis (21/01/2015).
Dikatakan Farid, ketika harga beras mengalami kenaikan yang tidak wajar, maka pemerintah itu wajib melakukan operasi pasar dan juga menstabilkan harga dengan menggelontorkan beras dalam jumlah yang besar.
“Nah, lalu beras itu dari mana? Ya, dari impor sebagaimana yang dilakukan Bulog,” ujar Farid kepada sejumlah wartawan termasuk hidayatullah.com.
Disebutkan Farid bahwa, kebutuhan impor beras dilakukan dalam rangka untuk stabiliasasi harga beras, dan juga mencukupi cadangan beras nasional sehingga tidak terganggu jika terjadi kekurangan stok beras.
“Memang, tanpa impor kita itu tidak kekurangan beras tetapi dalam sebuah mekanisme perdagangan itu, harus ada cadangan sehingga perlu dilakukan take price,” jelas Farid.
“Untuk produksi nasional (beras) kita itu tidak kurang,” imbuhnya.
Farid menambahkan ketika pemerintah tidak melakukan impor beras, maka justru akan mudah terjadi kenaikan harga yang tinggi.
“Kenyataan di lapangan, ketika ada kebijakan untuk tak mengimpor beras seperti 3 atau 4 bulan kemarin. Pak (Presiden) Jokowi pernah menyatakan kita tidak ada impor beras. Kemudian, apa yang terjadi? Harga beras langsung naik luar biasa dari Rp 12.000, Rp 13.000 dan bahkan sampai menyentuh harga Rp 14.000 saat itu,” jelas Farid.
Artinya, lanjut Farid, cadangan beras secara nasional masih sedikit, sehingga ketika ada ‘pernyataan’ sedikit saja, maka harga beras menjadi sangat elastis terhadap pernyataan tersebut.
“Tetapi, saat keran impor dibuka maka harga beras drastis menjadi turun,” pungkas Farid.*