Hidayatullah.com – Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Bahlil Lahadalia mengatakan, membanjirnya pekerja asing khususnya dari China akan membawa dampak buruk bagi negara. Seperti pelanggaran undang-undang, kecemburuan sosial, dan kerusakan budaya bangsa.
“Ini adalah negara Republik Indonesia, bukan salah satu provinsi dari China. Penggunaan bahasa Indonesia adalah bagian dari idealisme kita sebagai sebuah negara, bukan sebatas aturan formal Permenaker. Kehadiran pekerja kasar asing akan menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat meledak menjadi konflik sosial,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada hidayatullah.com, Selasa (26/07/2016).
Selain itu, kata Bahlil, pekerja asing akan merusak budaya bangsa. Sebab, menurutnya, budaya bangsa Indonesia sekalipun dalam keadaan miskin secara ekonomi, tetapi tetap memegang adat kesantunan.
“Kita punya rasa malu, punya budaya bersih. Sedangkan pekerja China di Lebak, Banten, malah buang kotoran sembarangan. Mereka juga tidak menghargai masyarakat lokal. Semua itu akan menjadi pemicu konflik sosial yang sangat serius bila tidak segera ditata dengan baik,” paparnya.
Ia mengaku heran dengan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) yang menyanggah keberadaan pekerja asal negeri “Tirai Bambu” tersebut di sektor infrastruktur.
“Memang, pekerja China tidak sampai sepuluh juta. Tetapi, pekerja China bukan hanya mempunyai skill khusus, tapi bahkan pekerja kasar pun diboyong dari sana. Ini merupakan penghinaan bagi bangsa dan negara,” tukasnya.
Bahlil menganggap, bahwa Menaker harusnya malu dan mengundurkan diri karena tidak mampu menjaga dan melindungi tenaga kerja bangsa sendiri yanga justru pada saat negara sedang banyak pengangguran dan membutuhkan lapangan pekerjaan.
“Menaker harus mampu mendeteksi berapa jumlah pekerja China yang memakai visa turis dan overstay. Fakta ini tidak terberitakan. Klaim Menaker akan ada alih ketrampilan dengan kehadiran pekerja asing hanyalah omong kosong,” tudingnya.
Mantan ketua BPD ini merasa, Menaker tidak punya kepekaan dan kepedulian terhadap nasib pekerja lokal. Karena itu, ia mengajak semua pihak untuk mengawasi pergerakan pekerja China.
“Dalam konteks politik ke depan, kita tidak boleh mengabaikan keberadaan pekerja China di Indonesia hanya semata-mata bekerja. Menaker berdalih mereka bekerja hanya enam bulan. Tapi, siapa yang bisa menjamin? Di Monokwari, mereka sudah mukim satu tahun lebih untuk membangun pabrik semen. Belum lagi di Kalimantan, Sulawesi, Banten,” tandas Bahlil.
“Ini sungguh konyol. Ini pelecehan terhadap negara kita. Bila Menaker tidak percaya, silakan turun ke daerah-daerah untuk melihat sendiri fakta lapangan,” tambahnya menutup.*