Hidayatullah.com – Pengamat Terorisme, Harits Abu Ulya mengatakan, publik harus paham bahwa ada langkah “silent” selain upaya formal yang ditempuh dalam pembebasan sandera sebagaimana yang terjadi di wilayah Sulu, Filipina oleh Abu Sayyaf saat ini.
Namun, lanjutnya, tidak bijak jika langkah silent itu untuk diekpos seperti yang dikemukakan Menteri Pertahanan Ryamizard kepada media belum lama ini.
Hal itu, jelasnya, terkait pernyataan Menhan soal pembebasan ketiga WNI juga berkat bantuan tentara Filipina dan kelompok separatis MNLF.
“Karena langkah silent tersebut tidak lain adalah pendekatan informal diluar langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun Filipina. Begitu juga tidak urgen dengan memberikan harapan yang berlebihan kepada pihak keluarga WNI yang tersandera bahwa dalam waktu dekat ini akan segera bebas,” ujar Harits dalam keterangannya kepada hidayatullah.com, Kamis (14/10/2016).
Ia menambahkan, bahwa realitas dilapangan sangat dinamis, banyak faktor yang saling terkait berpengaruh langsung pada proses pembebasan. Artinya, pembebasan bisa lebih cepat atau bahkan lebih lambat dari ekspektasi seorang Menhan.
“Yang tepat adalah biarkan dan beri kesempatan Tim yang selama ini bekerja sejak beberapa bulan lalu dengan cara “silent” untuk menuntaskan amanah yang ada dipundaknya,” ungkap Harits.
Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ini juga mengungkapkan, berdasarkan dari sumber internal di MNLF didapatkan informasi yang perlu dicermati yaitu munculnya sosok-sosok opuntunir yang menumpang di tengah upaya pembebasan 2 WNI yang masih disandera.
“Adanya pihak-pihak yang mengatasnamakan perwakilan atau utusan pejabat pemerintah RI menemui Nur Missuari. Substansi pembicaraannya ingin terlibat proses pembebasan para sandera,” terangnya.
Penelusuran lebih jauh, katanya, sosok person yang mengaku pejabat selevel Deputy of Minister dihadapan MNLF ini ternyata orang sipil dan bukan pejabat pemerintah RI.
“Dan kemungkinan berpotensi hanya ingin mengambil keuntungan dari kasus penyanderaan yang saat ini sedang terjadi,” paparnya.
Di sisi lain, Harits menambahkan, hal itu akan sangat berbahaya jika sampai berkembang informasi dan polemik di negara Filipina bahwa ada utusan resmi Pejabat RI menemui seseorang yang oleh sebagian warga Filipina dianggap buronan (Warrant of Arrest).
“Justru selama ini yang telah dilakukan kontak dengan MNLF untuk membantu pembebasan sandera secara “informal” sudah tepat,” imbuhnya.
“Jadi, negara harus membersihkan dari anasir-anasir opuntunir terkait pembebasan sandera. Waspadai pihak-pihak opuntunir dan mafia yang mau nimbrung ambil keuntungan,” pungkas Harits.*