Hidayatullah.com– Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta semua aparatur pemerintah untuk berhemat pada 2017, karena semakin tingginya beban pengeluaran, sementara APBN berkurang.
“Biaya birokrasi tinggi, dan 20 persen dari anggaran untuk bayar utang dan cicilan,” ujar Wapres di Jakarta, Kamis (27/10/2016).
APBN yang disetujui, kata dia, tidak mampu mendorong ekonomi jadi sektor pembangunan yang lebih akseleratif.
“Itu keadaan yang kita hadapi, artinya, maka solusinya adalah semua harus berhemat,” ujarnya.
Wapres saat memberikan ceramah kunci pada Tempo Economic Breifing juga memerintahkan, para kepala daerah harus mengurangi biaya yang selama ini lebih banyak untuk pelayanan internal dan birokrasi.
Wapres merincikan, karena biaya birokrasi yang tinggi berefek pada banyaknya utang, bayar cicilan, bayar pokok, yang diperkirakan tahun depan hampir Rp 500 triliun.
Akibatnya, postur RAPBN 2017, yang disepakati belanja negara sebesar Rp 2.080 triliun tidak mampu mendorong ekonomi.
Subsidi
Namun pemerintah mengaku tetap berkomitmen pada pelayanan masyarakat, dengan menaikkan subsidi masyarakat seperti melalui biaya kesehatan dan pendidikan.
“Ini menjadi bagian untuk menutup ketimpangan keadilan, tetapi di lain pihak tentu mengurangi anggaran untuk pembangunan,” ujar Wapres.
Badan Anggaran (Banggar) DPR dan pemerintah menyepakati naskah Rancangan Undang-Undang APBN 2017 dibawa ke sidang paripurna parlemen pada Rabu (26/10/2016).
Dalam postur RAPBN 2017, pemerintah dan Banggar DPR menyepakati belanja negara sebesar Rp 2.080 triliun. Terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 1.315,5 triliun dan belanja transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 764,9 triliun.
Komponen belanja pemerintah pusat antara lain, belanja kementerian/lembaga (K/L) disepakati sebesar Rp 763,6 triliun dan non-K/L Rp 552 triliun.
Sedangkan, pendapatan negara disepakati Rp 1.750,3 triliun.
Dari pendapatan itu, penerimaan pajak ditargetkan Rp 1.498,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 250 triliun, serta hibah Rp 1,4 triliun.
Adapun defisit anggaran yang ingin dikendalikan pemerintah adalah maksimal 2,41 persen dari produk domestik bruto atau sebesar Rp 330,2 triliun.
Adapun defisit anggaran yang ingin dikendalikan pemerintah adalah maksimal 2,41 persen dari produk domestik bruto atau sebesar Rp 330,2 triliun. Demikian dilaporkan Antaranews.*