Hidayatullah.com– Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Ketum MUI), KH Ma’ruf Amin, menjelaskan soal lahirnya sikap dan pendapat keagamaan MUI atas disinggungnya Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Ia menyampaikannya dalam kesaksiannya pada sidang lanjutan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (31/01/2017).
Kiai Ma’ruf mengatakan, sikap dan pendapat keagamaan MUI atas kasus Ahok itu dikeluarkan untuk mengantisipasi kegaduhan masyarakat yang dipicu pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu, 27 September 2016 lalu.
“Sikap dan pendapat ini ditujukan kepada penegak hukum untuk diproses agar kegaduhan di masyarakat tidak mengarah ke sikap anarkis. Tentu penegak hukum ini, pertama ke pihak kepolisian,” ujar Kiai Ma’ruf sebagai salah satu saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dikutip Antara.
Ia mengatakan, ucapan Ahok menyinggung Al-Maidah tersebut merupakan isu nasional sehingga perlu ada tindakan hukum untuk memprosesnya.
Kehadiran Kiai Ma’ruf dalam Sidang Memberi Energi, Pembela Ahok Dinilai Hanya Mainkan Opini
Dibahas 4 Komisi
Ma’ruf menjelaskan, sikap dan pendapat keagamaan itu dibahas oleh empat komisi di dalam MUI, terdiri dari komisi fatwa, undang-undang, pengkajian, dan informasi.
“(Keempatnya) melakukan penelitian dan investigasi di lapangan kemudian melakukan pembahasan,” ujarnya.
Setelah dilakukan pembahasan pada empat komisi itu, hasilnya dilaporkan kepada pengurus harian, terdiri dari ketua umum, wakil ketua, dan sekretaris-sekretaris. “Pengurus harian inti ada sekitar 20 orang,” ujarnya.
Ma’ruf menyatakan, setelah pembahasan dalam pengurus harian, kemudian lahir sikap dan pendapat keagamaan MUI yang menyimpulkan bahwa ucapan Ahok “dibohongi pakai Surat Al-Maidah ayat 51” itu mengandung penghinaan terhadap agama dan ulama.
Diteliti dan Dibahas 11 Hari
Ma’ruf menjelaskan, sikap dan pendapat keagamaan MUI itu ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal MUI.
“Dibandingkan dengan fatwa, kami keluarkan pendapat dan sikap keagamaan MUI karena tidak hanya dibahas di komisi fatwa, tetapi juga dibahas dengan empat komisi dan pengurus harian, lebih banyak yang terlibat,” jelasnya.
Ia menyatakan, penelitian dan pembahasan soal ucapan Ahok itu berlangsung selama 11 hari sampai dikeluarkannya sikap dan pendapat keagamaan MUI.
Pimpinan DPR: Ahok yang Merusak Kebhinnekaan, bukan Fatwa MUI
JPU menghadirkan lima saksi dalam sidang kedelapan kasus Ahok itu. Antara lain, dua saksi dari nelayan di Pulang Panggang, Kepulauan Seribu, yaitu Jaenudin alias Panel bin Adim dan Sahbudin alias Deni.
Selanjutnya, Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin dan Komisioner KPU DKI Jakarta, Dahlia Umar. Satu saksi lagi yaitu Ibnu Baskoro sebagai saksi pelapor.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.*