Hidayatullah.com—Kehadiran Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Dr Ma’ruf Amin dalam persidangan kasus penodaan Agama (Al-Qur’an) atau penghinaan terhadap alim ulama dan/atau umat Islam dengan terdakwah Basuki Tjahaja Purnama dinilai memberi energi.
“Tentu patut kita memberikan apresiasi, mengingat kasus Ahok tidaklah sama dengan kasus-kasus yang lainnya, sebab pada kasus aquo telah begitu banyak energi ‘keluar’, titik klimaksnya adalah Aksi Bela Islam (Aksi 411 dan 212) yang sangat fenomenal tiada bandingnya,” ujar Ahli Hukum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Dr Abdul Chair Ramadhanmemberikan keterangan kehadiran Kiai Ma’ruf dalam persidangan hari Selasa (31/01/2017).
Saat Sidang Bertanya soal Sepatu dan Gorengan, PH Ahok Dinilai tak Fokus
Menurut Abdul Chair, kehadiran Kiai Ma’ruf Amin, lebih tepat sebagai “ahli”, walaupun yang bersangkutan dalam BAP disebut sebagai saksi.
Menurut Abdul Chair, argumentasi Kiai Ma’ruf sederhana, di mana sebagai posisi saksi ia memiliki pengetahuan tentang apa yang dilihat, didengar dan dialaminya terkait dengan adanya peristiwa pidana.
“KH. Ma’ruf Amin, bukanlah berpredikat saksi sebagaimana dimaksudkan. Beliau memberikan keterangan tentang seputar kedudukan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI berdasarkan hasil keputusan rapat Pimpinan Harian sesuai dengan Buku Pedoman Penyelenggaraan Organisasi MUI. Apa yang disampaikan oleh beliau tentu lebih mendekati keterangan Ahli Agama dari unsur MUI. Namun demikian, dapat dimengerti maksud penyidik waktu itu meminta keterangan sebagai Saksi adalah dalam rangka memperkuat kedudukan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI itu sendiri serta meneguhkan keterangan yang akan disampaikan Ahli Agama dari MUI,” ujarnya.
Selain itu, Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin, Komisioner KPU DKI Jakarta Dahlia Umar, dan saksi pelapor Ibnu Baskoro sebagai saksi pelapor juga dihadirkan dalam persidangan kedelapan yang digelar hari ini.
Ketua MUI Ma’ruf Amin dalam sidang kali ini akan dimintai penjelasan tentang proses lahirnya sikap dan pendapat keagamaan MUI soal penodaan agama oleh Ahok.
Menurut Abdul Chair, dalam sidang kali ini, hal yang paling penting dan tentunya menjadi pokok pertanyaan dari Penasehat Hukum (PH) Ahok adalah menyangkut tentang kedudukan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI yang dikeluarkan pada tanggal 11 Oktober 2016 dengan segala dimensinya.
Sesuai dengan namanya, Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI secara substansial memuat fatwa atau pendapat hukum Islam, sikap keagamaan, dan rekomendasi tindak lanjutnya kepada aparat pemerintah, penegak hukum dan masyarakat.
Fatwa dalam praktik peradilan pidana kedudukannya sebagai bukti surat yang menunjang alat bukti lainnya, khususnya keterangan Saksi dan Ahli yang kemudian bermuara pada tersusunnya petunjuk yang berkorelasi dengan dakwaan Penuntut Umum (PU).
Dengan demikian akan mampu menyakinkan Majelis Hakim bahwa telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh Ahok sesuai dengan ketentuan Pasal 156 atau Pasal 156a huruf a KUHP sebagaimana didakwakan.
“Permohonan Penasehat Hukum (PH) Ahok tentunya sangat menyadari kelemahan dalam proses pembuktian yang akan dihadapinya, menjadi wajar mereka lebih tertarik dalam pembentukan opini dan sekaligus memberikan tekanan kepada para saksi, hal yang sama mungkin terjadi dengan para Ahli pada sidang berikutnya.
GNPF MUI: Tunjukkanlah Akhlak Islam dan Qur’an pada Aksi Super Damai 212!
PH Ahok, menurut Abdul Chair dipastikan akan ‘habis-habisan’ mempertanyakan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI yang dipandang merugikan kliennya, sehingga menjadikannya sebagai Terdakwa.
Pertanyaan juga akan berkembang ke arah kedudukan MUI menyangkut legalitas dan keterkaitannya dengan kewenangan mengeluarkan Fatwa.
Selebihnya, PH Ahok berupaya menyakinkan Majelis Hakim bahwa memang ada skenario – tentunya melibatkan MUI – menjadikan Ahok duduk di kursi pesakitan.
“PH Ahok sepertinya lebih mengedepankan opini-opini belaka, ketimbang menemukan kebenaran materil. Mereka sepenuhnya sadar, bahwa kebenaran materil berpihak bukan pada Ahok, kebenaran materil justru akan menjadikan Ahok sebagai Terpidana. Terlihat jelas dalam serangkaian sidang-sidang terdahulu, PH Ahok sangat lemah dalam menggali keterangan yang seharusnya menjadi dasar bagi perumusan pledoi. Mereka menjadikan sidang pengadilan tidak lebih sebagai upaya pencitraan dalam rangka pemenangan Ahok pada Pilkada yang akan datang, singkat kata peranan mereka menyerupai Tim Sukses, ketimbang Penasehat Hukum,” ujarnya.*