Hidayatullah.com–Wakil ketua Fraksi PKS DPR-RI Bidang Ekonomi dan Keuangan, Ecky Awal Mucharam menilai Indonesia harus punya daya tawar dan positioning yang kuat dalam kerjasama ekonomi dengan China.
Pernyataan ini disampaikan oleh Ecky kepada wartawan di Jakarta, Rabu (17/05/2017), terkait Konferensi Tingkat Tinggi Belt and Road Forum Initiative (KTT Jalur Sutera Baru dan Sabuk Maritim) yang baru saja diselenggarakan di Beijing pada Senin-Selasa (14-15 Mei 2017) ini.
“Saya melihat melalui insiasi ini China berkepentingan untuk mengamankan perdagangan luar negerinya. Bila China mampu mengamankan hubungan ekonomi di negara-negara peserta BRF, maka dengan kata lain China akan menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara dan Asia Tengah yg pada akhirnya mengarah ke Uni Eropa,” ujarnya.
“Sikap Indonesia dalam menghadapi manuver-manuver dan kebijakan ekonomi perdagangan blok-blok kekuatan ekonomi, sebagaimana dulu TPP dan sekarang BRF ini, adalah harus jeli memanfaatkan peluang dan jangan mau menjadi sub-ordinat para inisiator yang tentunya memiliki kepentingan lebih besar. Kita jangan jadi subordinat mereka sehingga jalur laut dan udara kita dikuasai mereka. Seperti kawasan selat malaka yang lebih didominasi oleh Singapura, padahal sebagian besar masuk wilayah Indonesia,” tutur Aleg dari Jawa Barat ini.
Baca: Indonesia Perlu Teguhkan Diri Sebagai Poros Maritim Dunia di KTT IORA
“Berikutnya, volume perdagangan kita dengan china masih defisit. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China pada 2016 sebesar 16,785 miliar dollar AS. Adapun nilai impor Indonesia dari China sebesar 30,800 miliar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia terhadap China pada 2016 defisit sebesar 15,576 miliar dollar AS. Ini masalah serius, positioning dan strategi Indonesia dalam hal ini harus betul-betul kuat jika kita ingin masuk BRF ini, ” lanjut Ecky.
“Oleh karena itu, ekspor harus diupayakan tidak hanya dalam bentuk raw material yang tidak memiliki nilai tambah. Sebagai negara yang dianggap strategis dalam BRF ini, Indonesia harus mampu memanfaatkan konektivitas yang dibangun untuk meningkatkan ekspor non migas ke China dan negara-negara peserta BRF lainnya,” ujar Anggota Komisi XI ini.
Baca: KTT OKI ke-13 di Istanbul Temukan Solusi Tangani Perbedaan di Dunia Islam
“Skema keuangannya juga perlu ditinjau kembali. Sebagai contoh, skema Turn- key project yang rasanya tidak memberikan nilai tambah yang cukup bagi Indonesia karena tenaga kerja dan barang-barangnya dari mereka. Pola investasi seperti ini sebetulnya merugikan indinesia sebab nilai tambahnya sangat sedikit. Memang menambah variabel investasi dlm indikator makro ekonomi kita, tetapi itu semu. Jadi, mumpung BRF ini masih tahap awal, pemerintah harus berusaha agar Indonesia tidak menjadi subordinat China, posisinya harus saling menguntungkan,” ujar Ecky.
“Selain itu, Indonesia juga mesti mempertegas sikapnya terhadap masalah Laut Cina Selatan dalam hubungannya dengan ASEAN dan juga Kedaulatan Indonesia. Indonesia sepatutnya memiliki posisi dan daya tawar yang tinggi dalam alur maritim kerjasama BRF ini. Kita harus hati-hati, jangan lah kepentingan ekonomi sesaat yg bersifat sweetener bukan fundamental malah mengorbankan kedaulatan NKRI dalam masalah laut China selatan,” tutup Ecky.*