Hidayatullah.com– Pengamat Politik Internasional, Arya Sandhiyudha mengatakan, ada beberapa titik pandang tentang kondisi negara-negara Arab Teluk menyusul pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar oleh Arab Saudi dan sejumlah negara tetangga lainnya.
Pertama, terang Arya, saat ini Arab Saudi di era Raja Salman sudah demikian positif menggalang aliansi negara-negara Arab. Pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar bila dilanjutkan dinilai akan membuat semua persepsi sebagai pemimpin dunia Arab sirna.
“Meski dapat dipahami posisi sebagai tuan rumah dari dua tanah suci juga mengharuskan kehati-hatian terhadap isu keamanan tertentu, namun jangan justru mengurangi kewibawaan dirinya sendiri secara jangka panjang,” ujarnya kepada hidayatullah.com, Rabu (07/06/2017).
Baca: Lima Alasan Mengapa Israel Ikut Sibuk dalam Krisis Qatar
Kedua, lanjutnya, harapan kebersamaan dalam perjuangan isu kemerdekaan, perdamaian, dan kemanusiaan semisal Palestina, juga akan jauh melemah. Apalagi dengan memutus negara yang besar keberpihakannya terhadap salah satu faksi terbesar Palestina, yakni Hamas.
“Sementara mayoritas dunia memercayai rekonsiliasi dua faksi adalah pangkal solusi berikut 2 state solution. Kini Israel lah yang secara eksplisit happy,” ungkapnya.
Ketiga, menurut Arya, kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di KTT Arab Islam dan Amerika Serikat tidak terhindarkan menjadi faktor utama kebijakan pemutusan hubungan dengan Qatar ini.
Padahal, Direktur Eksekutif Madani Center for Development and International Studies (MaCDIS) ini menilai, hal itu justru membuat agenda memerangi ISIS juga akan terganggu karena adanya pangkalan AS, Al Udaid AirBase di Doha yang secara geostrategis adalah mewah.
Keempat, sambungnya, Turki juga berkepentingan, karenanya terlihat negara yang dipimpin Erdogan itu cekatan berkomunikasi dengan Rusia dan beberapa negara Arab Teluk.
“Selain karena in-line dalam banyak arah polugri (politik luar negeri. Red) dengan Qatar, Turki juga punya kerja sama ekonomi sangat besar terutama menyongsong Piala Dunia 2022,” jelasnya.
“Qatar pula yang selama ini sangat moderat-terbuka, dan potensial sebagai broker perebutan pengaruh aktor besar kawasan demi menghindari instabilitas kawasan,” tandas Arya.*