Hidayatullah.com– Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, menyatakan, ekspor-impor beras adalah urusan perdagangan antar negara. Sedangkan persoalan harga dan ketersediaan beras adalah masalah produksi dan konsumsi serta hukum permintaan dan penawaran (demand and supply side) di pasar.
“Jadi, ini 2 soal yang berbeda,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya diterima hidayatullah.com Jakarta, semalam, Jumat (19/01/2018).
Di sisi yang lainnya adalah soal data dan pengelolaan data serta kewenangan instansinya.
Selama ini, jelasnya, kewenangan data dan informasi terkait kebutuhan pokok dan hajat hidup orang banyak tidak dikelola secara terintegrasi, sehingga masing-masing kementerian dan instansi pemerintah mengeluarkan data tak akurat dan valid.
Indonesia pada tahun 2014 merupakan negara produsen beras 5 (lima) besar di dunia, dan berada di bawah negara Republik Rakyat China (RRC) dan India.
Data volume produksi beras yang dihasilkan oleh Indonesia pada tahun 2014 tersebut, berdasar data FAO yang dikutipnya, adalah sebesar 70.600.000 ton. Sedangkan negara RRC dan India masing-masing volume produksinya adalah sebesar 208.100.000 ton dan 155.500.000 ton.
“Walaupun Indonesia merupakan negara produsen beras terbesar ketiga di dunia, namun Indonesia masih saja memerlukan impor beras dari negara lain,” ungkapnya.
Hal ini katanya disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah menurunnya volume produksi beras, meningkatnya konsumsi beras per kapita per tahun, dan peralihan lahan-lahan sawah di daerah produktif.
Volume produksi beras Indonesia pada tahun 2016 memang mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014, yaitu sebesar 79.200.000 ton.
Namun demikian, jumlah konsumsi beras masyarakat Indonesia pada tahun 2017 justru meningkat menjadi 150 kg beras per orang per tahun, sementara produksi dalam negeri tak mampu memenuhinya, masih kata dia.
Defiyan panjang lebar menjelaskan, posisi Badan Urusan Logistik (BULOG) saat ini harus dipahami tidaklah sama dengan era Orde Baru yang lebih berfungsi sebagai penyangga aktif logistik pangan nasional.
Ruang gerak Bulog juga lebih mencerminkan sebuah perusahaan korporasi yang harus mencari keuntungan (profit), agar dapat memberikan dividen kepada pemegang saham atau negara.
Apabila kewenangan impor beras juga diambil alih oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), maka kesulitan yang dihadapi oleh Bulog akan semakin bertambah.
“Sebab selain kewenangan yang diambil, maka Bulog juga harus memikirkan masalah keuangan untuk melakukan pemenuhan persediaan beras tepat waktu dan melakukan stabilisasi harga di pasar,” jelasnya.
Kesimpangsiuran data dan informasi ketersediaan beras dan pangan, yang kemudian berpengaruh pada produksi dan konsumsi serta harga di pasar, inilah yang tak terjadi pada pemerintahan Presiden Soeharto.
“Seharusnya Presiden (Joko Widodo, Red) memberikan perhatian penuh atas permasalahan Ekonomi Konstitusi ini supaya tak muncul para spekulan dan kepanikan di tengah masyarakat sebagai akibat tata kelola pangan yang tidak terintegrasi dan sinergi dengan baik,” pungkasnya berpesan.*