Hidayatullah.com– Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, semua elemen bangsa Indonesia, terutama Presiden dan DPR, meyakini dan sudah sepakat bahwa ekonomi kreatif adalah masa depan ekonomi bangsa ini.
Sejak kampanye hingga terpilih, ekonomi kreatif menjadi salah satu ‘jualan’ Presiden Joko Widodo sebagai cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menggeliatkan tenaga kerja.
Menurut Fahira, jika melihat komitmen besar ini, seharusnya setelah terpilih, pemerintahan Jokowi berinisiatif menyodorkan Rancangan Undang-Undang terkait Ekonomi Kreatif (RUU Ekraf).
Bahkan Jokowi dinilai seharusnya membentuk kementerian khusus ekonomi kreatif berada di bawah Kementerian Koordinator, untuk mempermudah mengintegrasikan berbagai kebijakan, sehingga ekonomi kreatif Indonesia bakal lebih mempunyai daya saing.
“Tapi faktanya, dari pengajuan Prolegnas 2015-2019, hanya Komite III DPD RI yang menyodorkan RUU Ekraf dan sudah hampir dua tahun lebih DPR dan Pemerintah tak kunjung merampungkannya.
Kita yakin ekonomi kreatif akan jadi lokomotif perekonomian nasional, tetapi kita belum serius mewujudkannya. Jika mau masa depan bangsa ini cerah, segera rampungkan RUU Ekraf,” ujar Fahira yang juga inisiator RUU Ekonomi Kreatif dalam pernyataannya di sela-sela FGD penguatan dan argumentasi/legalitas atas tiga RUU inisiatif DPD (Wawasan Nusantara, Ekonomi Kreatif dan Daerah Kepulauan), di Bilangan Kedoya, Jakarta Barat, Selasa (27/02/2018).
Anggota DPR, lanjut Fahira, dalam berbagai kesempatan bertemu rakyat juga memberi keyakinan kepada rakyat bahwa tiada pilihan bagi bangsa ini kecuali mengembangkan ekonomi kreatif, agar, saat ini dan ke depan ekonomi bangsa terus tumbuh. Tetapi payung hukum yang menjadi kendaraan menuju ke sana tidak kunjung rampung.
“Biasanya pembahasan RUU di tahun politik seperti ini, banyak yang meleset. Tetapi saya berdoa untuk RUU ekonomi kreatif tidak terjadi, karena prosesnya sudah dua tahun lebih. Mudah-mudahan Pemerintah dan DPR mampu menyelesaikannya tahun ini,” harap Fahira.
Ia mengungkapkan, berlarut-larutnya pembahasan UU Ekraf, secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap kontribusi ekonomi kreatif, yang beberapa tahun belakangan ini belum menunjukkan pertumbuhan signifikan.
Walau katanya statistik nilai Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi kreatif mengalami kenaikan hingga tujuh kali lipat sejak 2002 hingga 2015 (dari Rp 160,3 triliun menjadi Rp 852 triliun), tetapi, jika melihat kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB, angkanya justru menurun.
Tahun 2002, jelasnya, ekonomi kreatif berkontribusi hingga 8,8 persen terhadap total PDB dan terus turun di titik terendah pada 6,97 persen pada 2008. Kemudian naik perlahan tetapi hanya stagnan di angka 7 persen hingga kini. “Belum menyentuh angka 8 persen,” imbuhnya.
Artinya, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia berkutat di situ saja. Padahal kalau membaca Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2015-2019, Presiden menargetkan pertumbuhan PDB Ekonomi Kreatif menyentuh 12 persen.
“Undang-Undang itu kendaraan program pembangunan ekonomi kreatif, tanpa itu kita tidak bisa berlari. Di saat negara lain sudah menikmati berkah ekonomi kreatif, kita payung hukum saja belum punya. Thailand itu (kontribusi ekonomi kreatif tehadap PDB) sudah hampir 10 persen,” jelas Senator DKI Jakarta ini.
Oleh karena itu, kebutuhan pembentukan dan pengesahan RUU Ekonomi Kreatif dinilai sangat mendesak karena momentum ekonomi kreatif saat ini sangat kuat.
Industri digital sedang melaju pesat dengan memanfaatkan teknologi informasi. Tanpa ada landasan pengaturan hukum berbentuk undang-undang, maka momentum akan terlewatkan begitu saja.
Selain itu, masih kata Fahira, kehadiran UU ekonomi kreatif dapat menjadi payung hukum mengatasi masalah utama geliat ekonomi kreatif.
Mulai dari lembaga pembiayaan ekonomi kreatif; kuantitas dan kualitas sumber daya insani (membentuk insan-insan kreatif yang dapat direlasikan dengan perkembangan ekonomi, yang di dalamnya menyangkut banyak aspek misalnya pendidikan, budaya, dan komitmen politik); iklim kondusif untuk menjalankan usaha (kemudahan perizinan, akses pemasaran, pendampingan dan lain-lain); dan percepatan tumbuhnya teknologi informasi dan komunikasi yang mendukung pemberdayaan ekonomi kreatif.
“Jadi selama UU Ekraf ini tak kunjung usai, keyakinan kita bahwa ekonomi kreatif adalah masa depan ekonomi kita, tetap akan hanya menjadi keyakinan saja, atau mungkin juga bisa disebut sebagai mimpi,” pungkas Fahira.*