Hidayatullah.com– Persoalan data yang membuat keputusan impor beras dinilai anggota DPR Komisi IV, Andi Akmal Pasluddin, sebagai permasalahan yang tidak ada ujungnya.
Berpuluh tahun, silih berganti pemimpin mulai presiden, kementerian pertanian, kementerian perdagangan, Bulog hingga BPS, dinilainya tidak memberikan arah perbaikan bangsa ini menjadi lebih baik akan tata kelola data pangan sampai pada implementasi tata niaganya.
“Banyak sekali anomali kebijakan pangan negara kita ini. Tindakan pemerintah yang berupa kebijakan pangan hingga aplikasi lapangan seperti tidak memberi dampak berarti. Sebagai contoh, kebijakan impor beras tapi tidak berdampak pada penurunan harga beras di lapangan. Contoh lain, data menunjukkan stok pangan cukup, tapi kebijakan impor diam-diam dilakukan. Ini sungguh aneh dan tidak masuk akal,” ucap Akmal dalam siaran persnya kepada redaksi, kemarin.
Politisi PKS dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan II ini meminta kepada pemerintah, jangan ada lagi sandiwara data dan kebijakan sunyi yang merugikan rakyat banyak.
Pada kutipan data pengadaan luar negeri Perum Bulog, sebutnya, jumlah beras impor yang masuk mencapai 532.526 ton per 23 Mei 2018. Kemudian Pemerintah kembali menerbitkan izin impor beras. Tak ubahnya jilid pertama, kuota impor beras yang diberikan untuk jilid kedua ini juga sebanyak 500 ribu ton.
Anggota banggar ini mengatakan, banyak masyarakat tidak waspada pada kebijakan impor beras ini kecuali para petani. Hiruk pikuk memanasnya suasana demokrasi pergantian pemimpin daerah secara serentak, kemudian kejadian aksi serangan kepada masyarakat di beberapa wilayah, hingga suasana puasa dimana masyarakat fokus beribadah, membuat adanya impor beras ini menjadi sunyi.
Masih bagus katanya ada beberapa media dengan beberapa narasumber tetap memberikan informasi terkait kebijakan pemerintah akan impor beras ini, sehingga sekaligus menjadi kontro pemerintah dalam bertindak.
“Saya berharap, pemerintah terbuka terhadap situasi mengapa impor beras dilakukan dengan tidak adanya dampak penurunan harga. Tapi yang lebih penting adalah, pemerintah perlu berkomitmen agar memperbaiki kebijakan impor ini agar tidak menyakiti petani khususnya, dan menyakiti rakyat Indonesia pada umumnya,” pungkas Andi Akmal Pasluddin.*