Hidayatullah.com– Hari ini, Selasa (11/09/2018), sudah masuk tahun baru Islam 1440 Hijriyah. Sejarawan Alwi Alatas menceritakan, kurang lebih empat puluh tahun yang lalu menurut tahun Hijriyah, umat Islam memasuki abad ke-15 Hijriyah.
Pergantian abad tersebut menurutnya terasa penting mengingat adanya janji Nabi bahwa pada setiap pergantian abad akan ada mujaddid atau pembaharu.
Ini menjadi lebih penting lagi, kata Alwi, di saat umat Islam merasakan keterpurukan yang sangat dalam di penghujung abad ke-14. Setelah melalui era kolonialisme, umat Islam belum juga bangkit menjadi masyarakat dan peradaban yang unggul sebagaimana sejarahnya dahulu.
“Jangankan unggul, kebanyakan negeri Muslim ketika itu relatif dikendalikan oleh pemimpin-pemimpin yang dirasa jauh dari nilai-nilai Islam. Sudah beberapa dekade mungkin para ulama dan tokoh Muslim bertanya-tanya, sampai kapan keadaan demikian akan terus berlaku?” ujar dosen sejarah Islam International Islamic University Malaysia (IIUM) ini di Malaysia kepada hidayatullah.com Jakarta, Senin (10/09/2018).
Alwi melanjutkan ceritanya, umat kemudian memasuki tahun baru Hijriyah yang ketika itu kurang lebih bertepatan dengan penghujung tahun 1979 masehi. Ini dilihat sebagai pertanda baik. Abad 15 Hijriyah pun digaungkan sebagai abad kebangkitan Islam.
Baca: Tahun Baru 1440 Hijriyah Momentum Tingkatkan Iman-Taqwa
“Tak mudah untuk mengatakan hal itu sebagai harapan kosong belaka. Karena pada tahun-tahun itu banyak terjadi peristiwa penting di dunia Islam yang menampakkan denyut-denyut kebangkitan,” ungkapnya.
Di Indonesia, kata dia mencontohkan, geliat itu juga terasa. Itu tampak pada jarak pemerintah dan umat Islam yang mendekat di satu dekade kemudian.
“Geliat itu tampaknya masih saja wujud. Memang kadang pasang, kadang surut. Tertekan di satu negeri, muncul di negeri yang lain. Begitu pula hari ini,” ujarnya.
Tetapi, lanjutnya, di beberapa negeri Muslim yang dulunya damai, kini porak poranda. Negeri-negeri non-Muslim mungkin bisa dituding ikut bermain di belakangnya, kata Alwi.
“Tetapi tak mungkin kita tutup mata bahwa umat Islam sendiri yang jadi penyebab utamanya. Ini satu hal yang penting untuk direnungkan,” ucapnya.
Kini 40 tahun sudah berlalu. Satu umur kematangan jika yang diukur adalah manusia, kata dia. Menatap tahun baru 1440 Hijriyah, ia mengajak merenung, “Adakah kita sudah mencapai kematangan, yang bisa membuat umat tidak cepat limbung diterpa badai ujian?”
Pada akhirnya, kata Alwi, kematangan mesti membawa pada satu taraf kesadaran. Bahwa bangkit hanyalah sebuah fungsi dari perbaikan diri yang sepenuh hati. Seperti layaknya al-Ghazali yang pergi meninggalkan kedudukan yang tinggi, lalu kembali dengan jiwa yang sufi serta pengaruh yang melahirkan Shalahuddin al-Ayyubi.
“Adakah kita mengerti, bahwa kebangkitan itu mungkin datang melalui mereka-mereka yang hadirnya tak dikenali dan tiadanya tak pernah dicari?” pungkasnya.* Andi