Hidayatullah.com– Musibah gempa bumi dan tsunami yang melanda Sigi, Donggala, Palu, Sulawesi Tengah dan sekitarnya, patut mendatangkan rasa sedih bagi semua elemen bangsa. Namun juga harus diikuti dengan kesadaran untuk beritighfar sekaligus memohonkan ampun mereka yang menjadi korban.
“Pertama-tama tentunya, kita sebagai umat Islam merasa sedih dengan apa yang terjadi. Dan, kita berbelasungkawa terhadap apa yang menimpa masyarakat kita, dan kita memohon agar mereka-mereka itu diampuni oleh Allah Subhanahu Wata’ala,” terang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulteng, Habib Ali bin Muhammad Al-Jufri, kepada hidayatullah.com dan awak media lainnya Senin (08/10/2018) malam di Palu.
Ketua Pengurus Besar Al-Khairat Palu itu pun menuturkan bahwa tidaklah satu musibah terjadi, melainkan memberikan peringatan penting.
Baca: Korban Gempa-Tsunami Bertambah Jadi 2.010 Orang Meninggal
“Ini (gempa dan tsunami) merupakan peringatan dari Allah Subhanahu Wata’ala, yang sebelumnya, berbagai peringatan-peringatan telah diberi. Dan, hari Jumat kalau dalam riwayat (Hadits) adalah jatuhnya hari kiamat. Jadi musibah ini yang terjadi pada hari Jumat adalah gambaran, yang dijanjikan Allah itu pasti datang,” paparnya.
Oleh karena itu, pria ramah ini mendorong agar kaum Muslimin, penduduk Palu, Donggala, dan Sigi serta umumnya umat Islam di Indonesia untuk tidak bermain-main dengan peringatan Allah.
“Musibah atau kiamat itu pasti datang. Akan tetapi karena ulah maksiat umat manusia, maka musibah itu Allah datangkan lebih cepat. Artinya ini adalah percepatan dari kita sendiri, sehingga teguran (peringatan) ini ada,” tegasnya.
Selanjutnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Jufri mendorong umat Islam untuk tidak lagi ragu-ragu dengan peringatan Allah dalam hal ini terhadap kitab suci Al-Qur’an.
“Dan, seharusnya kita sebagai umat Islam, sudah seharusnya sudah sadar, bahwa apa yang Allah perintahkan dan Allah larang yang ada di dalam Al-Qur’an itu kita laksanakan. Karena tidak ada keraguan sedikit pun dari Al-Qur’an. Cuma (sayangnya) masih banyak umat Islam yang ragu dengan kitab sucinya sendiri,” ulasnya.
Seperti ditulis media ini sebelumnya, sebelum bencana alam gempa dan tsunami melanda Kota Palu, Jumat (28/09/2018), banyak warga yang menghadiri kegiatan festival kebudayaan Palu Nomoni di Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah. Para warga hadir di pantai tersebut untuk menyaksikan kegiatan Balia yang memang sudah lama hilang.
Kegiatan Balia merupakan kegiatan yang sudah lama hilang dan ingin dihidupkan kembali. Balia sendiri dahulu digunakan untuk mengobati orang sakit menggunakan mantra dan dilakukan oleh orang yang ahli.
Menurut Andi Ahmad, warga setempat, budaya ini baru dihidupkan kembali sejak 2016, biasanya menggunakan sesajen, seperti menghanyutkan makanan ke laut, dan hewan ternak seperti kambing.
“Biasanya untuk mengobati orang sakit menurut cerita dahulu, identiknya sih dengan sesajen,” kata Andi Ahmad, saat dimintai keterangan di Jalan Garuda Dua, Birobuli Utara, Palu Selatan, Kota Palu, Selasa (02/10/2018).
Palu Nomoni berarti artinya Palu berbunyi. Menurut Andi, tradisi ini sebenarnya sudah lama lenyap sejak kedatangan Guru Tua Habib Idrus bin Salim Al Jufri, yang disebut masih memiliki sanad keturunan dari Baginda Rasulullah.
“Sebenernya tradisi ini sudah lama hilang, dibersihkan sejak kedatangan guru tua, namun kembali dihidupkan,” tuturnya.
Dimulainya tradisi ini sejak 2016, terpilihnya Wali Kota pasangan Hidayat – Sigit Purnomo Said (Pasha). Namun sejak 2016 juga terus terjadi hal-hal aneh seperti angin kencang.
“Jadi memang tradisi ini identik dengan roh halus, sejak 2016 dihidupkan kembali, memang 2016 dan 2017 itu setiap dirayakan angin kencang trus, saat ini barulah tsunami,” paparnya.*
Berita gempa dan tsunami Palu bekerjasama dengan Dompet Dakwah Media