Hidayatullah.com– Dugaan kerja paksa terhadap mahasiswa Indonesia di Republik China (Taiwan) mencuat baru-baru ini.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan, memberikan tanggapan terhadap mencuatnya pemberitaan mengenai kerja paksa yang diterapkan oleh sejumlah industri di Taiwan kepada 300 mahasiswa asal Indonesia.
Ketua PPI Taiwan, Sutarsis, mengatakan dugaan praktik kerja paksa terhadap mahasiswa Indonesia program S-1 bagi skema kuliah-magang, sebenarnya telah terindikasi sejak awal tahun 2018 berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan PPI Taiwan.
“Tapi poin saya adalah kelebihan jam kerja dan ada problem lainnya. Karena, kami sudah identifikasi dari awal tahun (2018), karena program ini sudah berjalan setahun,” ungkap Sutarsis ketika dihubungi melalui saluran telepon, Rabu (02/01/2019) lansir KBRN.
Sutarsis menjelaskan, program yang baru diterapkan pada 2017 tersebut diakui belum memiliki peraturan yang kuat, sehingga dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab seperti dari agen pekerja maupun industri.
“Dalam pelaksanaan program-program itu ada berbagai problem. Karena, ini program baru dan banyak agen yang bermain, aturan belum settle (belum bagus). Sehingga ini ada beberapa problem yang terindikasi seperti yang diberitakan itu. Jadi, pertama adalah kelebihan jam kerja yang seharusnya maksimal 20 jam per minggu, dari ketentuan kementerian atau dirjen vokasional Taiwan. Serta, fasilitas buat Muslim, makanan dan sebagainya,” papar Sutarsis.
Sementara, berdasarkan data PPI Taiwan saat ini terdapat sekitar 6.000 mahasiswa Indonesia dengan 800 di antaranya mengikuti program S-1 skema kuliah-magang di 8 universitas di Taiwan.
Sutarsis menyatakan, pasca investigasi yang dilakukan PPI dan kantor dagang dan ekonomi Indonesia (KDEI) Taiwan, telah melaporkan hal tersebut dan berkomunikais dengan pihak otoritas pemerintah setempat untuk mengatur praktik program S-1 dengan skema kuliah magang secara permanen.
“PPI bersama Kantor Dagang dan ekonomi Indonesia dan kami PPI sudah laporkan lama. Sudah berbicara dengan pihak Taiwan untuk mengatur ini secara permanen,” jelasnya.
Menurut Sutarsis berdasarkan pengamatannya sejak pemberitaan mengenai kerja paksa 300 mahasiswa Indonesia mencuat ke publik, pemerintah Taiwan telah mengambil tindakan.
“Sementara adalah sepertinya dari pemerintah Taiwan sudah mulai menghentikan dan memanggil universitas yang terlibat,” tegas Sutarsis.
Sementara, kasus dugaan kerja paksa ini terungkap dari hasil investigasi diam-diam anggota parlemen Partai Kuomintang, Taiwan, Ko Chihen yang diumumkan pekan lalu.
Dalam penyelidikan tersebut ditemukan bukti bahwa 300 mahasiswa Indonesia terlibat dalam praktik kerja paksa dan di antaranya menjalani kuliah di Universitas Hsing Wu.*