Hidayatullah.com– Lembaga survei semestinya menjadi salah satu elemen penting dalam membangun kualitas demokrasi. Kehadiran lembaga ini memberikan warna tersendiri dalam setiap kontestasi pemilu legislatif, pilkada, maupun pilpres.
Namun belakangan, publik sering dibuat jengah dengan suguhan-suguhan data dan informasi dari lembaga survei. Aroma penggiringan opini dan pembohongan publik begitu terasa. Bahkan kadang disertai provokasi berlagak ilmiah.
Demikian menurut Aliansi Pencerah Indonesia (API) yang pada Kamis (10/01/2019) ini menggelar diskusi pekanan di Rumah Polonia, Jakarta, bertajuk “Menyorot Kredibilitas Lembaga Survei pada Pilpres 2019”.
Baca: Banyak Lembaga Survei dinilai Tak Objektif, Persepsi akan Lakukan Audit
“Dengan fakta itu, kami memandang penting kiranya publik menyorot kredibilitas lembaga-lembaga survei yang kerap menghiasi dunia pemilu kita. Publik harus selektif terhadap data dan informasi yang disajikan. Dan bahkan penting untuk menyeleksi lembaga yang menyajikan, apa lembaganya masih layak dipercaya atau tidak,” ujar Sekjen API Pedri Kasman kepada hidayatullah.com, Kamis (10/01/2019) lewat rilisnya.
API menilai, lembaga survei harus mempertanggungjawabkan kredibilitasnya terhadap publik. Mereka harus menjelaskan betul soal independensi mereka. Apakah lembaganya konsultan politik atau murni sebagai lembaga survei.
“Penting juga ada transparansi terhadap sumber keuangan. Jika mereka menerima dana dari kontestan politik baik capres atau partai politik, maka seharusnya disampaikan ke publik secara terbuka,” ujarnya.
Baca: Effendi Gazali: Siapa Sebetulnya yang Membayar Lembaga-lembaga Survei?
API memandang secara ilmiah perlu diuji metodologi yang digunakan lembaga survei, terkait akurasi data, penetapan sampel, dan sebagainya. Untuk itu, pihaknya mendorong lembaga survei sebaiknya menyajikan secara terbuka data mentah mereka sebelum dibumbui dengan analisa-analisa dan opini.
Sehingga diharapkan publik bisa menilai dan mengkaji juga data-data itu. Dari sini dinilai akan gampang diuji kredibilitas lembaganya setelah mereka mengumumkan kesimpulan surveinya.
“Jika terindikasi mereka tidak jujur menyampaikan kesimpulan survei, maka bisa dikategorikan sebagai lembaga yang melakukan kebohongan publik. Publik patut menghukum mereka dengan mengesampingkan eksistensi lembaga tersebut dan tak mempercayai hasil-hasil survei mereka. Pada posisi ini sejatinya lembaga survei telah menggali kuburan sendiri,” ungkapnya.
Dinilai penting juga kiranya KPU dan Bawaslu membuat peraturan untuk lembaga survei yang akan merilis hasil-hasil surveinya. “Agar kemudian pemilu di Indonesia tidak diwarnai dengan hoax-hoax yang berselimut baju ilmiah.”
Baca: Survei Median: Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf di Bawah 50 Persen
Demikian juga asosiasi lembaga survei, menurut API, penting membuat kode etik yang tegas disertai sanksi keras bagi mereka yang melanggar. Lembaga yang tidak kredibel perlu dihukum dengan mengumumkan ke publik bahwa lembaga ini telah melanggar aturan dan kode etik.
“Pemilu 2019, baik pemilu legislatif apalagi pilpres amat penting kita selamatkan. Pemilu ini harus berkualitas dan menghasilkan pemimpin terbaik dengan cara-cara yang baik pula. Salah satunya dengan mengawal keberadaan lembaga survei agar tidak menjadi perusak dalam praktik demokrasi di negeri ini,” pungkasnya.
Hadir dalam diskusi Kamis sore itu tiga narasumber ahli, yaitu Prof Siti Zuhro (LIPI), Dr Ma’mun Murod (Presidium API), dan Arif Nurul Imam dari Indo Strategi.*
Baca: Survei: 63,8 Persen Masyarakat Belum Ingin Pilih Jokowi Periode Kedua