Hidayatullah.com– Sulit dibantah jika wajah peradilan Indonesia akhir-akhir ini dijadikan sarana alat kekuasaan dan politik. Itulah beberapa poin yang didiskusikan oleh praktisi dan pakar hukum dalam acara diskusi tokoh “Quo Vadis Hukum di Indonesia, Apa dan Bagaimana solusinya?”, Ahad (03/03/2019).
Diskusi yang dilakukan di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jl Wuni 9 Surabaya, Jawa Timur, ini menghadirkan Praktisi hukum Achmad Michdan SH dan Ahmad Khozinuddin SH, serta pakar hukum dan masyarakat Prof Dr Suteki.
Acara diskusi ini dibuka oleh KH Dr Mahsun, dalam sambutannya, Ketua PD Muhammadiyah ini menekankan pentingnya fungsi hukum dalam bernegara.
“Seringkali kekacauan dalam sejarah manusia itu karena kekacauan hukum,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Achmad Michdan menceritakan pengalamannya mendampingi para tokoh-tokoh Islam yang dijerat berbagai kasus hukum. Kesimpulannya memang banyak kekurangan dan kejanggalan dalam penerapan hukum di negeri ini.
“Memang secara hukum, hampir seluruh tokoh umat yang dibidik persoalan hukum. Dan ribuan mereka yang disangkakan sebagai teroris,” ujar pengacara yang juga membantu Ustadz Abubakar Ba’asyir.
Ahmad Khozinuddin, pengacara dan pengurus LBH Pelita Umat juga sependapat dengan Michdan. Menurutnya kini hukum bukan saja menjerat tokoh-tokoh Islam, tapi juga lawan politik rezim yang berkuasa.
“Saya bisa pastikan bahwa hukum dijadikan sarana alat kekuasaan dan politik. Jadi saya bisa pastikan tokoh-tokoh umat yang kena termasuk Habibina Habib Rizieq Shihab. Itu bukan karena delik hukum, bukan persoalan pidana dan bukan pelaku kriminal. Tapi beliau-beliau ini mengambil pilihan politik kontra rezim. Karena itu mereka diajak merapat ke rezim tidak mau, maka kriminalisasilah yang menjadi pendekatan,” ujarnya.
Dalam kasus lawan politik, menurut pengurus LBH Pelita Umat ini, tidak bisa dipungkiri jika seorang yang terlibat dan berkecimpung dalam kekuasaan demokrasi pasti memiliki borok politik. Hal ini karena proses mendapatkannya sangat mahal. Sehingga ada bayaran yang harus dibayar ketika masuk dalam kekuasaan. Nah ini yang digunakan rezim untuk menekan borok lawan politik dan membiarkan borok kawan politik.
Dia mencotohkan, dalam kasus terakhir yang menimpa pimpinan DPR dari PAN. Setelah partai ini mengambil posisi oposisi dan salah satu pendirinya semakin kontras terhadap rezim yang berkuasa. Kadernya yang pimpinan DPR dimainkan kasusnya, seolah inilah jawaban dari rezim.
“Seharusnya kalau mau adil, tentunya yang kena harusnya yang sudah jelas ada petunjuk dari pengadilan, ada bukti dan pengakuan di pengadilan bahwa aliran dana kasus e-KTP masuk ke tuan Putri Maharani dan pangeran Ganjar Pranowo. Tetapi karena keduanya di barisan rezim jadi mereka tidak bisa kena,” ujarnya.
Sedangkan pakar hukum dan masyarakat, Prof. Dr Suteki menjelaskan bahwa sesuai amanat pasal 27 ayat 1 bahwa semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
“Ini mestinya sama, tidak ada perbedaan perlakuan. Ini kalau kita mau hukum itu menjadi baik, hukum itu betul-betul posisi menjadi hukum karena hukum ini sebagai dasar negara ini berdiri. Ketika hukum sudah timpang jangan berharap negara ini bisa berdiri dengan baik,” ujar profesor dari Universitas Diponegoro ini.
Kemudian bagaimana solusinya?
Dalam diskusi ini, beberapa peserta menyampaikan pendapat. Beberapa hal yang perlu dan mendesak adalah edukasi kepada masyarakat agar melek hukum. Misalnya memanfaatkan media sosial sebagai wadahnya, membuat broadcast pengetahuan tentang hukum yang mesti diketahui.
Sedangkan Achmad Michdan menjelaskan kembali bahwa hukum Islam juga merupakan solusi. Ia menjelaskan bahwa Indonesia ini dinamakan sebagai negara hukum. Negara ini bisa merdeka karena ideologi Islam dan kemudian kita juga menegaskan negara kita berdasarkan hukum di Undang-Undang Dasar. Dan nilai-nilai Islam dikemukakan di undang-undang sebagai dasar hukum negara.
“Di dalam perjalanannya, sampai saat ini hukum publik kita masih menggunakan hukum penjajah. Padahal di negara belanda saja sudah 300 tahun sudah tidak terpakai. Sebenarnya dalam peletakan pertama dalam undang-undang kita sudah ada ciri-ciri bahwa menjadi hukum Islam,” ujarnya.
Menurutnya, sekarang ini bangsa Indonesia sudah memakai hukum berkaitan hubungan masyarakat yang Islami dengan hukum Islam, misalkan undang-undang peradilan agama seperti wakaf, waris, cerai, dan lain-lain. Tinggal hukum pidana, “Kalau kita memberlakukan hukum pidana kita Islam. Sebenarnya itu sudah selesai,“ ujarnya lagi.
Menurut Michdan, ada salah satu provinsi yang sudah diklaim menjadi provinsi Islam. Ini sebenarnya ada aset dan solusi di sini.
“Tapi apakah kita pernah berpikir bagaimana kita berperan dalam provinsi yang Islam itu dan menyiapkan provinsi itu menjadi contoh penerapan hukum Islam?” tanya Michdan.
Dalam sesi akhir, pembina dan pengacara Tim Pembela Muslim (TPM) yang membela banyak kasus yang menimpa tokoh-tokoh Muslim ini menegaskan mari berjuang memperbaiki negara ini.
“Sebagai praktisi hukum dan menghadapi berbagai persoalan keumatan. Tidak ada hukum yang lebih benar dan berkeadilan kecuali hukum Islam. Oleh karenanya kita sebagai hamba-hamba Allah berusaha apa saja yang bisa kita lakukan dan yang paling kecil dengan doa. Agar negara ini bisa diatur secara Islam dan kita semua selamat,” ujar Michdan menutup acara.* Rofi Munawwar