Hidayatullah.com– Omnibus Law yang sedang diajukan pemerintah terus menuai kontroversi. Omnibus Law diketahui merupakan suatu rancangan undang-undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang
Secara khusus yang menjadi polemik luas adalah Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja atau dikenal dengan sebutan Omnibus Law RUU Cilaka. Selain RUU Cilaka, pemerintah saat ini juga siap mengajukan RUU Omnibus Law Perpajakan.
Sebagaimana diketahui, Omnibus Law RUU Cilaka meliputi 11 klaster, yakni: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.
Sedangkan Omnibus Law Perpajakan yang telah disiapkan Kementerian Keuangan meliputi 6 pilar, yaitu: 1) Pendanaan Investasi, 2) Sistem Teritori, 3) Subjek Pajak Orang Pribadi, 4) Kepatuhan Wajib Pajak, 5) Keadilan Iklim Berusaha, dan 6) Fasilitas.
Baca: MUI Dorong Pemerintah Pertahankan Kewajiban Sertifikasi Halal
Menurut versi pemerintah, kedua RUU Omnibus Law itu disiapkan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.
Namun demikian, sejumlah pihak mengkhawatirkan Omnibus Law RUU Cilaka khususnya yang terkait investasi dan ketenagakerjaan akan menimbulkan kegaduhan.
Pada faktanya, berbagai kalangan terutama kaum buruh ramai-ramai menolak RUU Cilaka tersebut.
“Saya khawatir Omnibus Law (terutama terkait investasi dan ketenagakerjaan) akan melahirkan kegaduhan baru lagi karena dinilai lebih mengutamakan investor,” ujar Anggota DPD RI yang juga Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Fahira Idris dalam pernyataannya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/01/2020) kepada hidayatullah.com.
Oleh karena itu, Pemerintah diharapkan segera menyadari bahwa semua kegaduhan-kegaduhan ini akan menguras energi sebagai sebuah bangsa. “Segeralah lakukan pembenahan diberbagai bidang,” imbuh Fahira.
Menurutnya, kegaduhan-kegaduhan yang terjadi di Indonesia, tidak jarang dipicu oleh kebijakan Pemerintah. Misalnya pada 2019 keran impor begitu deras mulai dari beras, gula, jagung, sampai baja. Bahkan beras diimpor saat petani sedang panen raya dan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih dan melahirkan kegaduhan.
Baca: KSPI: Para Buruh Bereaksi Tolak Omnibus Law RUU Cilaka
Ekonomi yang tak kunjung bertumbuh juga melahirkan kebijakan-kebijakan yang gegabah dan berpotensi kegaduhan baru. Salah satunya rencana Pemerintah hendak menghapuskan Amdal dan IMB demi mempermudah investasi. Padahal pembangunan dan kelestarian lingkungan adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisah. Tidak ada gunanya investasi masuk jika lingkungan dan tatanan sosial yang jadi pijakan hidup rakyat rusak, tambahnya.
Di awal tahun 2020 kegaduhan baru, tampaknya juga akan mewarnai perjalanan bangsa ke depan. Terkuaknya berbagai skandal yang terjadi saat ini misalnya korupsi di perusahaan asuransi milik negara Jiwasraya dan dugaan korupsi yang menerpa Asabri tidak hanya melahirkan kegaduhan baru, tetapi juga akan menghantam industri jasa keuangan yang jadi tumpuan pemerintah untuk menambal defisit transaksi berjalan di tengah gejolak ekonomi global saat ini.
Dalam bidang politik dan hukum, masih kata Fahira, kekecewaan publik atas proses lanjutan OTT KPK terhadap Komisioner KPU atas dugaan pergantianantar-waktu (PAW) anggota DPR dari Fraksi PDIP dikhawatirkan terus melahirkan kegaduhan-kegaduhan baru lagi.
Baca: Omnibus Law RUU Cilaka Hapus Kewajiban Makanan Bersertifikat Halal
Lebih jauh, Fahira menilai, situasi di periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya tidak akan banyak berubah dari situasi periode pertama yang diwarnai berbagai kegaduhan.
Padahal, lima tahun ke depan adalah fase yang sangat menentukan atau menjadi tonggak apakah Indonesia pada 2045 mampu menjadi salah satu negara maju dunia dan kekuatan ekonomi baru.
Selain masih belum mampu keluar dari kemendekan pertumbuhan ekonomi, di awal pemerintahan Jokowi ini, berbagai kegaduhan akibat skandal besar yang berpotensi merugikan negara menyeruak dan dipastikan menjadi hambatan bagi bangsa ini untuk berlari menjadi negara maju.
Masih dalam penilaiannya, kemampuan Pemerintah melajukan roda ekonomi rakyat, mengelola BUMN secara profesional dan prudensial serta menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, komitmen memberantas korupsi, dan kemampuan mengakrabkan kehidupan berwarganegara dengan menghadirkan keadilan hukum dan ekonomi, adalah hal mendasar yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah jika ingin 2045 bangsa ini ingin menjadi negara maju.
Baca: Klarifikasi Pemerintah Atas Beredarnya Draf RUU Penciptaan Lapangan Kerja
Namun, jika melihat kondisi bangsa yang dalam lima tahun terakhir ini hanya berpindah dari satu kegaduhan ke kegaduhan lain, ia melihat tampaknya mimpi Indonesia menjadi kekuatan ekonomi baru dunia pada 2045 semakin jauh panggang dari api.
“Bangsa ini hanya berpindah dari satu kegaduhan ke kegaduhan lain. Kalau terus seperti ini, sulit bagi kita untuk fokus berlari menjadi negara maju. Pondasi utama kita yaitu ekonomi, kondisinya sangat rapuh. Pengelolaan simpul-simpul ekonomi bangsa terutama BUMN juga bermasalah. Korupsi yang menjadi penghambat pembangunan dan investasi, pemberantasannya juga dinilai semakin melemah.
Bukan mau pesimis, tetapi semua indikator kehidupan kita saat ini tidak menggembirakan,” ujarnya.*