Hidayatullah.com- Peraturan Perundang-undangan (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 yang kini telah berubah menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 itu kembali digugat Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK).
KMPK menegaskan pihaknya tidak akan menyerah dalam upaya gugatan terhadap produk Undang-Undang yang dikenal dengan sebutan UU Corona atau UU Covid-19 ini.
Ketua Dewan Pengarah KMPK, Prof Din Syamsuddin menyatakan pihaknya tidak akan membiarkan aturan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi. Sebab, sedikit banyaknya akan berdampak pada struktur negara itu sendiri sebagai negara hukum.
Din mengungkapkan, sebetulnya masih banyak elemen masyarakat lainnya di luar sana yang juga sependapat dengan Judicial Review (JR) yang dilayangkan KMPK kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
“Banyak sekali di luar kita ini di luar sana melihat adanya, kali dari sudut agama kita sedang berhadapan dengan kemungkaran yang terorganisir, yang sudah memasuki struktur kenegaraan. Dan di sinilah bahayanya, bahaya besar yang mengganggu kehidupan bersama,” kata Din dalam rapat koordinasi KMPK yang digelar secara virtual dikutip Rmol, akhir pekan lalu.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini berharap, elemen masyarakat yang tergabung di KMPK agar tidak patah arang lantaran Perppu Corona yang ditolak telah menjadi UU.
“Kita jangan kehilangan asa, jangan kekurangan napas. Ini kayak main kucing-kucingan paling tidak begitu suasana kebatinan saya. Maka kita fokuskan dulu ini UU sambil yang besar juga dikerjakan dan disiapkan. Serupa Omnibus Law dan lain-lain,” tuturnya.
Atas dasar itu, Din menegaskan dirinya siap untuk menerima konsekuensi apapun selama proses melakukan gugatan sejak masih Perppu 1/2020 hingga disahkan oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna menjadi UU Corona seperti sekarang ini.
“Terus terang terus ada kebatinan saya dengan Perppu yang menjadi UU ini, besar tapi kecil. Jadi, kita sikapi juga secara santai dan kita yakin,” ucapnya. “Ya sudahlah, urusan dunia ini sudah selesailah, tidak ada yang kita takuti. Namun tetap cerdas dan taktis,” ujarnya lagi.
Sebelumnya, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI), Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), serta Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) telah mengajukan gugatan uji materiil ke MK ketika Perpu 1/2020 belum menjadi UU Covid-19, pada 9 April 2020.
Adapun pasal yang diajukan untuk diuji yakni Pasal 27 Perppu 1/2020, yang isinya antara lain:
- Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara;
- Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
MAKI dan penggugat lainnya menilai, pasal tersebut bertentangan dengan sejumlah norma yang diatur di dalam UUD 1945.
Pasalnya, pasal tersebut memberikan imunitas kepada pemerintah dan lembaga anggota KSSK untuk tidak dapat dituntut dan dikoreksi.
Mereka juga beranggapan bahwa penggunaan keuangan negara yang dilakukan secara melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang seperti perbuatan korupsi, penggelapan atau pencurian uang dikhawatirkan dapat merugikan keuangan negara.
“Frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ derajatnya sama dengan ayat-ayat kitab suci yang tidak bisa diganggu gugat. Frasa ‘bukan merupakan kerugian keuangan negara’ jelas-jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang selalu membutuhkan kontrol, check and balance,” tulis permohonan yang telah diterima dengan nomor perkara 1960/PAN.MK/IV/2020 tersebut.* (Achmad Fazeri)