Hidayatullah.com– Pada 567 tahun lalu, Sultan Usmani (Ottoman), Muhammad Al-Fatih (Sultan Mehmet II) atas izin Allah berhasil menaklukan Konstantinopel (The Conquest of Constantinople), setelah pengepungan selama lebih dari 50 hari.
Pembebasan Konstantinopel pada Selasa pagi, 20 Jumadil Ula 857 H bertepatan tanggal 29 Mei 1453 SM itu, tak lepas dari peran penting ulama yang memberikan bimbingan kepada Al-Fatih.
Dai yang juga penulis buku terkait sejarah tentang Muhammad Al-Fatih, Ustadz Felix Siauw, menjelaskan, dalam proses pembebasan Konstantinopel, ada peran para Pasya yang mendampingi Al-Fatih.
“Dan yang paling penting adalah bimbingan para ulama. Ini yang membuat Muhammad Al-Fatih mampu untuk melalui segala macam kesulitan-kesulitannya bahkan sampai dia mati, bahkan sampai ketika penaklukan Konstantinopel,” ujar Felix yang dijuluki “Sultan” pada acara talkshow online bertajuk “567 Tahun Pembebasan Ibukota Romawi Byzantium Konstantinopel” yang disiarkan langsung melalui channel Sahabat Al-Aqsha di Youtube, Jumat (29/05/2020).
Sebagaimana diketahui, di antara ulama yang berpengaruh dalam membesarkan Sultan Al-Fatih adalah Syeikh Muhammad bin Hamzah, atau lebih dikenal sebagai Syeikh Aaq Syamsuddin.
Baca juga: Syaikh Aaq Syamsuddin Sang Penakluk Maknawi Konstantinopel
Felix menceritakan bahwa ide Al-Fatih memindahkan kapal lewat darat untuk membebaskan Konstantinopel terinspirasi dari ulama tersebut.
Jadi, tutur Felix, Al-Fatih sempat mengalami stres berat karena berpuluh-puluh hari tak kunjung berhasil menaklukkan benteng Konstantinopel. Sampai-sampai, tuturnya, Al-Fatih yang masih berusia muda itu tega membelah kemah sang gurunya tersebut karena hendak menemuinya.
“Jadi dia mau ketemu dengan Aaq Syamsuddin, Aaq Syamsuddin gak mau. Maka dia belah kemahnya, menemui gurunya lagi shalat, untuk kemudian meminta semacam petunjuk daripada Allah. Nah, petunjuknya apa? Dia (sang guru) bilang kepada Muhammad Al-Fatih, ‘Ini pertempuran (adalah) pertempuran berat, kamu harus lebih bertakwa kepada Allah, harus lebih sabar kepada Allah, dan melakukan perkara-perkara yang tidak biasa.’ Maka itu menginspirasi Muhammad Al-Fatih untuk mindahin kapal,” tutur Felix dalam acara yang dipandu “Babeh Sahabat Al-Aqsha” tersebut.
Baca juga: 564 Tahun Jatuhnya Konstantinopel [1]
Pelajaran dari situ, Felix mengingatkan bahwa bimbingan para ulama penting bagi seorang pemimpin Muslim.
“Intinya, kalau anda mau sukses, harus ada orang yang membimbing, yaitu adalah ulama. Itu yang membedakan, siapa yang pengecut, siapa yang berani,” ujar penulis buku Muhammad Al-Fatih 1453 ini.
Felix mengatakan, seorang pemimpin idealnya menjalankan strategi kepemimpinannya dengan berdasarkan bimbingan ulama, fatwa ulama.
“Pertanyaannya adalah kalau ada orang berjuang tanpa ulama, lantas dia dibimbing siapa? Siapa yang menentukan kemudian bahwa tindakan dia (seorang pemimpin) adalah tindakan berani atau tindakan bunuh diri? Siapa yang menentukan bahwa tindakan dia penuh perhitungan atau dia sebenarnya cuma pengecut yang cari alasan doank,” ungkapnya.
“Dan ulamanya juga syaratnya ulama rabbaniyah,” timpal Babeh dalam talkshow tersebut.
“Iya!” jawab Felix membenarkan.*