Hidayatullah.com– Profesor Madya Politik Indonesia di Departemen Perubahan Sosial dan Politik, Universitas Nasional Australia, Greg Fealy, menyebut selama empat tahun belakangan, pemerintahan Presiden Indonesia Joko Widodo telah melakukan kebijakan penindasan yang terpadu dan sistematis terhadap umat Islam (atau yang biasa disebut Barat sebagai Islamis).
Menurut Greg Fealy, ini mungkin kabar baik bagi mitra Barat Indonesia – terutama Australia, di mana survei berulang kali menunjukkan bahwa banyak warganya takut akan meningkatkan konservatisme dan militansi Islam Indonesia.
Tetapi, lanjut Greg Fealy, Australia dan negara lain harus khawatir dengan kebijakan anti-Islam Indonesia karena itu mengikis hak asasi manusia, merusak nilai-nilai demokrasi dan dapat menyebabkan reaksi radikal terhadap apa yang dipandang sebagai antipati negara yang berkembang terhadap Islam.
Menurut Greg Fealy, butuh penjelasan terkait siapa para ‘Islamis’ ini dan tindakan apa yang diambil terhadap mereka. Secara umum, istilah ‘Islamis’ digunakan untuk menyebut umat Islam yang berusaha menjadikan hukum dan nilai-nilai Islam sebagai bagian sentral dari kehidupan publik dan struktur negara.
Ini bisa merujuk pada berbagai kelompok, dari mereka yang membentuk partai dan mengikuti pemilu dalam sistem demokrasi hingga jihadis militan yang menurutnya menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka.
“Pemerintah Indonesia sering melihat ‘Islamis’ sebagai ‘ekstremis’, termasuk dalam kategori ini tidak hanya teroris dan pendukung ISIS, tetapi juga anggota atau simpatisan partai-partai Islam dan organisasi masyarakat yang tidak melanggar hukum,” tulis Greg Fealy dalam makalahnya “Jokowi in the COVID-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Over-Bearing State” dimuat dalam ANU Indonesia Update 2020.
Greg Fealy melanjutkan, apa yang disebut kelompok ‘Islamis trans-nasional’ secara khusus dipandang dengan kecurigaan – ini berasal dari atau terinspirasi dari gerakan Timur Tengah atau Asia Selatan, dan dipandang membawa pengaruh ‘asing’ dan fundamentalis ke Indonesia.
“Contohnya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang diilhami oleh Ikhwanul Muslimin, yang telah terdaftar sejak 1998 dan menjadi bagian dari koalisi pemerintahan selama 11 dari 22 tahun terakhir. PKS memiliki catatan sempurna dalam bermain sesuai aturan permainan demokrasi, namun banyak dari anggotanya yang menjadi sasaran tindakan represif dan diskriminatif oleh negara,” sebutnya.
Greg Fealy melanjutkan, represi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pegawai negeri, akademisi dan guru yang dianggap oleh badan keamanan negara aktif dalam kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai kelompok Islam dapat dimasukkan dalam ‘daftar pantauan’ dan diperingatkan oleh atasan mereka bahwa kegiatan keagamaan atau politik mereka tidak dapat diterima dan bahwa karir mereka akan menderita jika tidak mengubah perilaku mereka.
“Proses serupa terjadi di badan usaha milik negara dan perusahaan swasta. Beberapa Islamis telah disingkirkan dari posisi strategis atau ditolak promosi,” imbuhnya.
Menurut Greg Fealy, banyak kementerian telah memperkenalkan pemeriksaan bagi rekrutan untuk menyaring mereka yang memiliki pandangan Islamis. Ribuan, mungkin puluhan ribu, Islamis telah menjadi sasaran kebijakan ini.
“Beberapa diberikan rincian yang seharusnya ‘kesalahan’ mereka. Ini tampaknya bertujuan untuk menekan kaum Islamis agar melepaskan keyakinan mereka atau berhenti mengungkapkan pandangan mereka secara terbuka dan mengatur cara pandang di tempat kerja,” sebutnya.
Greg Fealy mempertanyakan, mengapa pemerintah Jokowi yang mengaku memegang teguh prinsip toleransi dan pluralisme, melakukan tindakan semacam ini?
“Sebagian besar partai dalam koalisi yang berkuasa Jokowi, dan terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), melihat Islamisme sebagai ancaman eksistensial bagi Indonesia dan tradisi netralitas agama konstitusional dan inklusivitas sosial. Mereka menganggap para Islamis sebagai pemecah belah karena mereka berusaha untuk mengistimewakan Muslim dan hukum Islam di dalam negara dan masyarakat, dengan demikian menyangkal prinsip-prinsip yang mendasari negara itu. Pandangan ini dianut oleh organisasi Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan partai politik sekutunya yang merupakan bagian dari koalisi yang berkuasa,” sebut Greg Fealy.
Greg Fealy menyebut, Jokowi dan partai-partai pemerintahan sangat khawatir pada tahun 2016-2017 ketika kelompok-kelompok Islamis memobilisasi ratusan ribu Muslim di jalan-jalan Jakarta untuk memprotes pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Yang dimaksud Greg Fealy tentu adalah Aksi Bela Islam berjilid-jilid di Jakarta, yang puncaknya adalah Aksi 212 pada 2 Desember 2016, buntut dari kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Aksi ini diikuti berjuta-juta umat Islam dari berbagai daerah. Ahok kemudian kalah dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, April 2017. Ahok kemudian dipidana dengan hukum dua tahun penjara gara-gara kasus penistaan tersebut.
Greg Fealy menilai peristiwa ini meyakinkan banyak orang di pemerintahan Indonesia bahwa tindakan bersama diperlukan untuk menghentikan gelombang pasang Islamisme. “Memang, banyak menteri percaya bahwa jika Islamisme tidak dibendung dan dihilangkan selama sisa tahun kepresidenan Jokowi, maka Islamisme akan menjadi terlalu kuat untuk dikendalikan,” imbuhnya.
Greg Fealy kemudian mempertanyakan validitas pandangan tersebut. Menurutnya, tentu saja ekspresi konservatif Islam sedang berkembang di Indonesia, seperti halnya religiusitas konservatif yang meningkat di banyak negara Asia dan negara Barat lainnya. “Tapi ini belum mengambil manifestasi politik yang koheren. Banyak Muslim konservatif menghindari politik praktis dan tidak ada partai Islam yang mampu memenangkan lebih dari 8 persen suara dalam empat pemilihan terakhir,” sebutnya.
“Ya, Islamis memang menjatuhkan mantan gubernur Jakarta non-Muslim, tapi kasus itu melibatkan penistaan, yang selalu menimbulkan emosi dan semangat yang intens – tapi biasanya berumur pendek – di jalanan. Sejak saat itu, gerakan Islamis terus berjuang namun gagal mengulangi kesuksesan tahun 2016-2017,” tambahnya.
Lebih buruk lagi bagi kaum Islamis, menurutnya, kandidat presiden yang mereka dukung dalam Pemilu 2014 dan 2019, Prabowo Subianto, tiba-tiba berubah setelah pemilu tahun lalu, bergabung dengan pemerintahan baru Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. “Hal ini membuat kaum Islamis kecewa dan kacau. Jadi, sulit untuk mengatakan bahwa Islamisme membahayakan sistem politik Indonesia,” imbuhnya.
Greg Fealy menyebutkan, jika Indonesia memang menghargai toleransi dan keragaman, maka harusnya Indonesia menerima legitimasi wacana Islam dan kegiatan asosiasinya. “Kebanyakan pandangan Islamis tidak bertentangan dengan hukum atau peraturan. Menekan Islamisme justru menekan ruang sipil dan membuat Indonesia kurang demokratis,” imbuhnya.
Menurut Greg Fealy, Pemerintah Australia, mengingat telah lama mempromosikan Islam ‘moderat’ di Indonesia, seharusnya khawatir dengan kampanye anti-Islam.
“Pada saat banyak orang yang memiliki hak politik di Australia mencela apa yang mereka anggap meremehkan atau membatasi hak-hak orang Kristen konservatif di negara mereka sendiri, mereka juga harus mengadvokasi agar hak serupa diberikan kepada komunitas agama konservatif lainnya di Indonesia sebagai baik, termasuk Islamis. Toleransi keragaman agama harus menjadi penanda demokrasi yang matang dan kokoh,” pungkasnya.*