Hidayatullah.com—Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) mengadakan diskusi public yang diselenggarakan dalam format webinar Zoom pada Ahad (20/11/2020). Acara tahunan yang rutin diselenggarakan oleh INSISTS setiap akhir tahun itu mengambil judul “Diskusi Publik: Keragaman dan Keindonesiaan dalam Timbangan the Worldview of Islam”.
Diskusi tersebut menghadirkan lima pembicara yang merupakan tokoh INSISTS dan beberapa di antaranya juga merupakan pendiri lembaga tersebut. Dr Anis Malik Thoha yang merupakan asisiten professor di Internationl Islamic Univesity Malaysia (IIUM), membuka diskusi dengan menyinggung beberapa hal kontroversial pada tataran pemikiran yang terjadi di Indonesia beakangan ini.
Dr Anis di antaranya menyinggung pernyataan Yudi Latief, Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang menyebutkan bahwa Indonesia berada dalam krisis karena gagal membudayakan Pancasila. Yudi Latief juga menulis dalam bukunya, “Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan”, bahwa ia memimpikan budaya Pancasila menurut pengertiannya ini dapat menjadi sebuah agama sipil.
Menanggapi hal tersebut, Dr Anis mengatakan bahwa salah satu indikasi pluralisme adalah munculnya agama baru yang disebut agama sipil. Agama sipil adalah wacana yang muncul pada tahun 1967 di Amerika.
Pria yang juga dikenal sebagai para pluralisme agama itu juga menegaskan bahwa terdapat banyak perbedaan nilai antara Amerika dengan Indonesia, dalam hal ini antara umat Kristen dengan Islam. “(Bagi umat Islam) (nilai-nilai ini) akan berimplikasi pada dunia dan akhirat,” ujarnya.
Anis juga mengungkap bahwa umat Islam ini tidak memiliki masalah dengan Pancasila. “Yang menjadi masalah adalah jika Pancasila diangkat kedudukannya melebihi agama,” ujarnya.
Melanjutkan topik tersebut, Dr Syamsuddin Arif, mengungkap bahwa sebenarnya memang ada benturan antara ideologi Pancasila dengan agama, dalam hal ini Islam. “Memang keduanya berbenturan, setidaknya dalam beberapa sisi. Dengan kata lain akan ada saat kita harus memilih mengikuti otoritas Allah atau negara,” ujarnya.
Dr Syamsuddin juga menerangkan mengenai posisi konstitusi bagi umat Islam. “Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak melakukan kontrak (akad), dan itu hal yang harus dihormati. Konstitusi sebenarnya adalah akad, kita harus memperlakukan dann menghormatinya sebagai akad. Namun akad tidak bisa lebih tinggi dari Al-Qur’an. Akan ada saat-saat akad itu menjadi fasid. Jadi dasarnya bukanlah akad namun keimanan / ketaqwaan,” ujarnya.
Sementara salah satu pembicara, Dr Arifin Ismail menegaskan bahwa agama adalah asas kenegaraan dan tugas kita sekarang adalah memasukkan wordview Islam ke dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Ia juga mengungkap bahwa terdapat dikotomi dalam umat mengenai peran hamba dan khalifah.
Menurut Dr Arifin, inilah yang dilakukan oleh para orientalis untuk merusak Islam. Tugas utama umat Islam saat ini, menurut Dr Arifin, adalah Islamisasi ilmu, sehingga keeragaman dapat terbina dalam satu worldview Islam.
“Untuk melawan tantangan yang akan terus datang, kita perlu membuat antisipasi, yakni bagaimana umat ini memiliki pondasi yang cukup untuk tidak mudah terpengaruh. Masyarakat perlu diajarkan agar bisa mendeteksi istilah-istilah yang bermasalah,” ungkap Dr Arifin.
Pembicara lainnya, Dr Nirwan Syafrin Manurung, mengungkap fakta perkembangan umat Islam yang tidak diiringi dengan kesadaran politik yang sama. “Namun di tengah perkembangan keber-agamaan ini, di tataran politik, suara umat Islam tidak berkembang signifikan. Yang membelah umat Islam di kalangan bawah adalah perpecahan dalam pandangan politik, sehingga suara umat tidak terkanalisasi,” ujar pengajar di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor ini.
Sementara Dr Henri Shalahuddin, yang berbicara dari Istanbul, Turki, mengingatkan akan bahaya feminisme bagi umat Islam. Ia mengungkap bahwa feminisme melihat manusia berdasarkan jenis kelaminnya bukan dari isi kepalanya atau nilai dirinya.
“Feminis akhirnya terjerumus kepada anti agama hingga kemudian berujung pada kekerasan pada sesama perempuan,” ungkapnya.
Acara yang dimulai pada pukul sembilan pagi tersebut berakhir pada pukul setengah satu. Direktur eksekutif INSISTS, Asep Sobari, Lc, yang menjadi moderator acara menutup diskusi dengan sebuah kesimpulan. Diskusi ini, menurut Asep Sobari, menunjukkan pentingnya memahami kedudukan manusia di antara makhluk lainnya dan pentingnya memahami worldview Islam.*