Hidayatullah.com — Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menganalisa bahwa ada tiga wilayah tabligh yang dapat diperbaharui di lingkungan Muhammadiyah, terutama setelah 112 tahun perjalanan Muhammadiyah.
Pertama, tabligh dalam lisan seperti melalui ceramah, pengajian, khutbah, dan lain-lain. Haedar tidak ingin bila tabligh dengan lisan ini menyebarkan pernyataan yang justru membuat anti pati dan kegaduhan di hati masyarakat.
Kedua, tabligh dalam tulisan seperti melalui media sosial, media massa, buku, dan lain-lain. Haedar mengungkapkan tabligh dalam wilayah ini harus dinarasikan dengan substansi dan cara pandang yang mendalam, luas, menarik, dan menggugah kesadaran.
Ketiga, tabligh dalam perbuatan nyata seperti gerakan menolong korban bencana. Haedar mengucap rasa syukur lantaran misi tabligh dalam wilayah ini sukses diperankan Muhammadiyah melalui sejumlah amal usaha. Keberadaan amal usaha ini sungguh dirasakan manfaat dan maslahatnya bagi masyarakat.
Selain keberadaan amal usaha, kata Haedar, tabligh pada wilayah ini harus ditunjukkan dengan uswah hasanah. Konsep moralitas seorang muballigh dalam pola interaksi dengan masyarakat harus mencerminkan kebaikan dalam kehidupan nyata. Haedar tidak ingin bila seorang muballigh justru menjadi teladan yang buruk bagi umat.
“Pada saat yang sama, tabligh di wilayah ini harus ditunjukkan dengan uswah hasanah, sehingga dengan ini orang akan meilhat bukti nyata bahwa Islam itu agama yang luhur, baik, menanamkan kedamaian, toleransi, mengajarkan ihsan, dan segala kebaikan,” kata Haedar melansir laman resmi Muhammadiyah, Kamis (05/08/2021).
Haedar kemudian mengutip Firman Allah Swt dalam Qs. An Nahl ayat 125 yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Buya Hamka mengatakan, kutip Haedar, arti kata bil-Hikmah artinya dakwah dengan bijaksana, menyentuh akal budi dan hati manusia.
“Kalau toh harus ada tabligh yang bersifat tegas, tetapi tidak menimbulkan luka hati, anti pati, dan tidak menimbulkan sikap-sikap yang menjauhkan Islam itu sendiri,” kata Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Jika para muballigh Muhammadiyah dan Muhammadiyah secara kelembagaan hanya mengandalkan dengan pola-pola lama, apalagi dengan materi yang dangkal dan pembawaan yang tidak menarik, tentu akan mengalamai kejumudan bahkan ketinggalan dengan yang lain.
“Ketika yang lain makin maju dan makin memperbaharui diri, maka bagi para muballigh Muhammadiyah jangan pernah berhenti belajar, jangan berhenti untuk muhasabah, jangan berhenti untuk terus memperbaharui cara bertabligh baik dalam lisan, tulisan, ataupun perbuatan,” pungkas Haedar.