Hidayatullah.com– Ketua DPR RI periode 2009-2014 Marzuki Alie turut memberikan perhatiannya kepada Front Pembela Islam dan Habib Rizieq Shihab, khususnya Pondok Pesantren Alam dan Agrokultural Markaz Syariah di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat milik Imam Besar FPI HRS yang digugat oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
Politikus Partai Demokrat ini tampak geram, mengirimkan pesan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Dalam pesannya tersebut, Marzuki Alie menyayangkan pemerintah dalam hal ini PTPN VIII yang meminta agar pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah, HRS, menyerahkan tanah di Megamendung dan dikosongkan paling lambat tujuh hari terhitung sejak surat somasi diterima.
“Saya memohon, demi kepentingan ummat, HRS boleh dihukum kalau dinyatakan bersalah oleh pengadikan, tp assets yang bermanfaat untuk ummat sebaiknya jangan turut dihabisi. Terus terang hati ini sangat tidak terima, pdahal banyak koruptor, assetsnya tidak dihabisi, justru hidup enak di penjara, keluar kembali hidup mewah. Belum lagi jutaan ha yang dikuasai konglomerat, pasti banyak pelanggaran hukum di dalamnya,” tulis Marzuki Alie kepada Mahfud MD lewat aplikasi WhatsApp.
Selain itu, Marzuki Alie juga meminta kepada pemerintah khususnya Menko Polhukam agar sedikit berpihak untuk menegakkan keadilan terkait perkara yang melanda HRS.
Adapun isi pesan tersebut sebagaimana diperoleh hidayatullah.com pada Sabtu (26/12/2020) adalah sebagai berikut:
“Assalamualaikum wrwb,
Prof Mahfud MD, Menkopolhukam.
Bismillah, ini suara hati, disampaikan kepada penguasa negeri ini, lewat saudaraku Prof Mahfud.
Tanah HGU Mega Mendung yg dimanfaatkan oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) untuk pesantren, adalah tanah negara HGU yang sudah puluhan tahun digarap rakyat. Kemudian dibebaskan oleh HRS dengan mempergunakan dana ummat termasuk dana HRS sekeluarga. Tanah tsb dibebaskan dan diwakafkan untuk kepentingan pendidikan.
Saat ini tanah itu digugat kembali oleh PTPN, terlepas apakah itu ide direksi atau ada pesan khusus dari kekuasaan, tp tanah itu bermanfaat untuk ummat.
HRS ada kesalahan, bahasa terlalu kasar dalam berdakwah, apakah itu dibenarkan atau salah, saya bukan ahlinya untuk mendebatkan.
Saya memohon, demi kepentingan ummat, HRS boleh dihukum kalau dinyatakan bersalah oleh pengadilan, tp assets yang bermanfaat untuk ummat sebaiknya jangan turut dihabisi. Terus terang hati ini sangat tidak terima, pdahal banyak koruptor, assetsnya tidak dihabisi, justru hidup enak di penjara, keluar kembali hidup mewah. Belum lagi jutaan ha yang dikuasai konglomerat, pasti banyak pelanggaran hukum di dalamnya.
SBY sendiri saya kritik, krn membiarkan konglomerat2 itu menguasai lahan yang rarusan ribu ha, dengan alasan mereka mendapatkan sesuai aturan, tp aturan tanpa melihat keadilan, maka aturan itu dzolim.
Mohon prof, dengan amanah kekuasaan saat ini, berpihaklah sedikit demi keadilan, yang dirasakan semakin sulit di negeri ini. Semua bisa berargumentasi bahwa hukum ditegakkan, tp hati nurani kita pasti berbicara tentang benar dan salah.
Mohon maaf, klo tidak berkenan, wa ini dihapus saja, tp bila tersentuh utk berbuat, saya berdoa semoga Allah akan menolong siapapun yang berbuat dengan niat baik dan ikhlas. Wass MA.”
Sedangkan Mahfud MD, menanggapi pesan itu, menyampaikan terima kasih dan mengaku tak paham urusan tanah itu. Walau demikian, Mahfud MD mengaku berkomitmen membantu memproporsionalkan masalah itu. ”Saya sendiri tak begitu paham urusan tanah itu krn tak pernah mengikuti kasusnya. Ini baru tahu juga setelah disomasi. Nanti saya bantu utk memproporsionalkannya,” sebut Mahfud MD dikutip Sindonews.com (25/12/2020).
Sebagaimana diketahui, beredar surat somasi yang menyebutkan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah FPI di Megamendung seluas kurang lebih 30,91 hektare itu didirikan tanpa izin PTPN VIII. PTPN VIII mempersoalkan penggunaan fisik tanah hak guna usaha (HGU) oleh Markaz Syariah FPI tersebut. Surat itu menyebutkan, lahan tersebut adalah aset PTPN VIII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tertanggal 4 Juli 2008.*