Hidayatullah.com– Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi dan mempertanyakan rekomendasi hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap tewasnya 6 laskar FPI pengawal Habib Rizieq Shihab, yang menyatakan bahwa peristiwa pembunuhan sejumlah laskar FPI hanya sebagai ‘pelanggaran HAM’, dan tidak dinyatakan sebagai ‘pelanggaran HAM berat’.
Padahal, lanjut HNW, Komnas HAM sendiri menyebutkan bahwa pembunuhan 4 laskar FPI adalah mengindikasikan unlawful killing. “Itu jelas termasuk sebagai tindakan extra judicial killing yang disebut oleh UU HAM sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat,” tuturnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (09/01/2021).
HNW mengutip ketentuan Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘pelanggaran hak asasi manusia yang berat’ adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).”
Maka, lanjutnya, wajar saja bila beberapa NGO seperti IPW, Amnesti Internasional, YLBHI, dan KontraS juga menyimpulkan bahwa penembakan mati terhadap laskar FPI pengawal HRS termasuk extra judicial killing, yang masuk dalam kategori pembunuhan HAM berat. Diharapkan dengan status pelanggaran HAM berat, maka pengusutan lebih serius, dan aturan hukum soal pelanggaran HAM lebih bisa ditegakkan di Indonesia. Sebab, Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi, yang mempunyai UUD yang sangat mementingkan perlindungan dan pelaksanaan HAM.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan apabila kasus ini dinyatakan pelanggaran HAM berat, maka sesuai dengan mekanisme dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka penyelidikan Komnas HAM tersebut bisa langsung diteruskan ke Jaksa Agung untuk segera dilakukan penyidikan lebih lanjut.
“Mekanisme ini lebih adil, karena tidak melibatkan institusi yang anggotanya diduga melanggar HAM dalam kasus ini, yaitu kepolisian, ” ujarnya.
Selain itu, HNW juga menuturkan bahwa sebaiknya Komnas HAM juga menjelaskan apakah pembunuhan laskar FPI yang telah masuk dalam kategori pelanggaran HAM juga sekaligus Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Sebab bila merujuk kepada Pasal 9 huruf a dan huruf f UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka patut diduga telah terjadi peristiwa pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan secara sistemik, terhadap 6 laskar FPI itu.
“Peristiwa penembakan mati itu dilakukan setelah adanya penguntitan yang dilakukan oleh aparat dan bukan aparat. Selain itu, ada pula fakta yang terungkap bahwa saksi yang merekam dalam HP diminta oleh polisi untuk menghapus rekaman tersebut. Ini menunjukkan adanya indikasi bahwa peristiwa itu bukan penyiksaan dan pembunuhan biasa,” ujarnya.
Bila merujuk kepada penjelasan Pasal 9 huruf f, yang dimaksud dengan ‘penyiksaan’ adalah adanya tindakan yang dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan. “Korban 4 orang itu, sebagaimana kesimpulan Komnas HAM, berada dalam posisi di bawah pengawasan pihak kepolisian,” ujarnya.
HNW menambahkan bahwa, meski tidak menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat, sekalipun prasyaratnya sudah terpenuhi, Komnas HAM tetap perlu terus memantau dengan serius proses pelaksanaan hasil rekomendasinya ini, agar benar-benar dijalankan secara transparan, profesional, dan kredibel. Jika hal itu tidak dilakukan, maka sudah sepatutnya Komnas HAM menyetujui pembentukan TGPF Independen yang untuk membantu Komnas HAM, agar legitimasinya lebih kuat untuk melakukan penyelidikan ulang, dan kemudian menyerahkan hasil penyelidikannya itu ke Jaksa Agung, sesuai dengan mekanisme di UU Pengadilan HAM.
“Jika kasus ini tidak diusut secara tuntas, maka akan terus menyisakan kesangsian/ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara penegak hukum dan HAM. Ditambah lagi dengan adanya fakta yang disebutkan juga oleh Komnas HAM bahwa ada perintah kepada para Saksi untuk menghilangkan rekaman dan pengambilan CCTV oleh Polisi, maka patut diduga adanya usaha untuk menyembunyikan/menghilangkan petunjuk-petunjuk otentik adanya ‘serangan yang sistemik’ kepada para korban (6 laskar FPI), yang menjadi salah satu syarat terjadinya ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ dalam konteks pembunuhan dan penyiksaan yang merupakan salah satu jenis pelanggaran HAM berat,” pungkasnya.*