Hidayatullah.com–Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, kkspresi kebencian dan rasisme tidak bisa lagi dipandang sebagai dinamika psikologis yang bersifat alamiah. Karena itu, apa yang dilakukan pada diri para buzzer bukan sungguh-sungguh ekspresi suasana hati atau didorong oleh motif emosional, melainkan motif instrumental.
“Kebencian adalah urusan perasaan. Rasisme berangkat dari bias implisit (implicit bias). Perasaan dan bias itu ada pada dimensi pribadi individu (si pembenci dan di rasis) dan muncul secara alamiah,” katanya kepada hidayatullah.com, Selasa (02/2/2021).
Namun jika benar anggapan bahwa buzzer (pendengung) adalah orang bayaran sehingga dijuluki sebagai buzzeRp, ketika mereka itu telah melakukan perbuatan pidana, yang implikasinya melakukan rasisme dan kebencian.
“Jangan-jangan aksi buzzeRp yang melakukan pidana di medsos adalah mirip dengan kejahatan terorganisasi. BuzzeRp sebatas eksekutor lapangan. Di belakangnya ada otak dan penyandang biaya, “ tambah alumi Universitas Melbourne, Australia ini.
Karena itu, dengan bentuknya sebagai kejahatan terorganisasi, maka kerja aparat penegak hukum tidak cukup pada pemidanaan terhadap si buzzeRp saja. “Perlu diproses pula secara hukum siapa otak dan penyandang dananya,” tambah dia.
Karena itu, menurutna, sebagaimana politisi koruptor yang bisa dilarang masuk ke dunia politik, seharunya buzzeRp yang berbuat pidana juga dijatuhi pidana tambahan berupa pelarangan memiliki akun medsos. “Dasar berpikirnya adalah pembatasan ruang gerak: ruang hidup virtual si buzzeRp harus dibatasi guna mempersempit zona residivismenya,” tambah dia.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Istilah buzzer marak sejak era Gubuernur DKI Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama Alias Ahok. Istilah buzzerRP adalah penyuara politik yang dibayar melalui akun-akun di media social.*