Hidayatullah.com–Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas, mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah dalam menetapkan industri minuman keras (miras) sebagai usaha terbuka.
“Saya benar-benar kecewa dan tidak mengerti mengapa pemerintah menetapkan industri miras yang sebelumnya masuk ke dalam kategori bidang usaha tertutup tapi sekarang dimasukkan kedalam kategori usaha terbuka,” kata Sekjen MUI periode 2015-2020 saat dihubungi Hidayatullah.com, Jum’at (26/02/2021).
“Hal ini tentu terjadi karena pemerintah melihat industri ini sebagai salah satu industri yang masuk ke dalam daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini,”sambungnya.
Pria yang akrab disapa Buya itu, menilai kebijakan itu tidak lepas dari disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Jelas-jelas tampak lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat,” ujarnya.
Abbas yang juga aktif di Muhammadiyah itu mengatakan, mestinya pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pelindung rakyat tentu tidaklah akan memberi izin bagi usaha-usaha yang akan merugikan dan merusak, serta akan menimbulkan kemafsadatan bagi rakyatnya. Tapi, lanjut Abbas disitulah anehnya dimana pemerintah malah membuat kebijakan yang menentang dan bertentangan dengan tugas dan fungsinya tersebut.
“Saya melihat dengan adanya kebijakan ini tampak sekali bahwa manusia dan bangsa ini telah dilihat dan diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi bagi kepentingan mendapatkan keuntungan atau profit yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pemerintah dan dunia usaha,” bebernya.
Oleh karena itu kata Abbas dengan kehadiran kebijakan ini dia melihat bangsa ini sekarang seperti bangsa yang telah kehilangan arah karena tidak lagi jelas oleh kita apa yang menjadi pegangan bagi pemerintah dalam mengelola negara ini.
“Di mulutnya mereka masih bicara dan berteriak-teriak tentang Pancasila dan UUD 1945 tapi dalam prakteknya yang mereka terapkan adalah sistim ekonomi liberalisme kapitalisme yang bukan merupakan karakter dan jati diri kita sebagai bangsa,” tutupnya.*