Hidayatullah.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat vonis hukuman 4,5 tahun penjara yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kepada Joko Sugiarto Tjandra alias Djoko Tjandra tidak setimpal dengan pelanggaran yang diperbuatnya.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan seharusnya dengan dua perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan suap penghapusan red notice, Djoko layak dijatuhi hukuman seumur hidup.
Hal itu, kata Kurnia sebagaimana tertuang dalam aturan Pasal 5 ayat 1 huruf a UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor baik pemberi maupun penerima maksimal hanya dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan/atau denda Rp250 juta.
“Pasal yang menyoal tentang pemberi suap hanya dapat diganjar hukuman maksimal lima tahun penjara. Padahal, model kejahatan yang dilakukan oleh Joko S Tjandra layak untuk dijatuhi vonis seumur hidup,” kata Kurnia dalam keterangannya, Selasa (06/04/2021).
Kurnia juga menyoroti sikap Djoko yang sempat melarikan diri dari proses hukum vonis perkara cassie Bank Bali. Djoko Tjandra juga terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap penegak hukum, Mulai dari Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, hingga Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
“Bahkan, tindakan Joko S Tjandra yang dengan mudah memasuki wilayah Indonesia untuk mengurus pendaftaran Peninjauan Kembali ke Pengadilan telah meruntuhkan wajah penegakan hukum Indonesia,” tegasnya.
Seolah belajar dari masalah ini, ICW mengusulkan agar ke depan, pembuat UU segera merevisi UU Tipikor. Setidaknya untuk mengakomodir Pasal pemberi suap kepada penegak hukum (Jaksa atau Polisi) agar diatur secara khusus.
“Misalnya memasukkan pidana penjara maksimal seumur hidup. Agar ke depan, jika ada pihak yang melakukan perbuatan sama seperti Joko S Tjandra, dapat dipenjara dengan hukuman maksimal,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kurnia juga melihat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hanya diam dan terkesan hanya jadi penonton dalam perkara surat jalan palsu, red notice, hingga Fatwa MA yang ketiganya turut menyeret Djoko Tjandra.
Baca juga : Komisi III Minta Kebakaran Tak Menghambat Penuntasan Kasus-kasus Besar yang Ditangani Kejagung
“Kepada KPK agar tidak hanya diam dan menonton penanganan perkara ini. ICW turut pula curiga terhadap surat perintah supervisi yang diterbitkan oleh KPK sepertinya hanya sekadar formalitas belaka. Sebab, sampai saat ini praktis tidak ada hal konkret yang dilakukan KPK terhadap perkara Joko S Tjandra,”tuturnya.
Selain itu, Kurnia menuntut agar KPK terus melakukan tindak lanjut dengan masuk lebih jauh guna menyelidiki dan menyidik pihak-pihak lain yang belum diusut oleh Kejaksaan maupun Kepolisian.
“Misalnya menelisik siapa pihak yang berada di balik Pinangki Sirna Malasari sehingga bisa bertemu dan menawarkan bantuan kepada Joko S Tjandra. Hal itu penting, sebab, sampai saat ini ICW masih meyakini masih ada oknum-oknum lain yang belum tersentuh oleh Kejaksaan maupun Kepolisian,” imbaunya.
Sebagaimana diberitakan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memvonis terdakwa Joko Sugiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dengan hukuman empat tahun enam bulan penjara serta denda Rp100 juta subsider enam bulan atas perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan suap penghapusan red notice.
Vonis yang dibacakan Hakim Ketua Muhammad Damis tersebut, lebih berat, dari pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) empat tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan.
“Menjatuhkan hukuman pidana penjara selama empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp100 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar maka diganti hukuman kurungan selama enam bulan,” kata Damis saat membacakan amar putusan, Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (05/04/2021).*