Hidayatullah.com– Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid mengutuk keras dipergunakannya lembaran-lembaran al-Quran sebagai pembungkus dan bahan petasan. Ia sepakat dengan MUI dan Muhammadiyah yang menegaskan bahwa penggunaan lembaran Al-Quran sebagai bungkus petasan sebagaimana kedapatan di Ciledug, Tangerang, merupakan perbuatan penistaan terhadap Al-Quran.
“Penggunaan lembaran Al-Quran sebagai bungkus petasan sebagaimana kedapatan di Ciledug, Tangerang, merupakan perbuatan penistaan terhadap Al-Quran, kitab sucinya umat Islam, sehingga perlu diusut tuntas dan diberikan sanksi hukum yang tegas, agar tak berulang,” katanya. “Apalagi kasus ini sempat jadi viral di medsos yang menandakan kasus seperti ini sudah jadi perhatian publik,” tambah dia.
Menurutnya, pengusutan mencegah berulangnya kejadian penistaan agama dan simbol semua agama yang diakui di Indonesia. Hal ini membuktikan makin diperlukan adanya instrumen hukum yang lex specialis yang bisa melindungi simbol agama di Indonesia, agar bisa membuat jera siapapun yang akan kembali melakukan penistaan.
“Saya mengutuk keras berulangnya penistaan agama, dan mendukung sikap Muhammadiyah dan MUI yang secara terbuka telah meminta agar polisi segera mengusut kasus ini secara tuntas. Ini memang harus segera dilakukan agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam yang sangat menghormati Al-Quran sebagai Kitab Suci, agar kesucian agama dan ajarannya tetap terjaga, sehingga ajaran agama dapat dijalankan untuk kebaikan kemanusiaan, dan harmoni kerukunan antar umat beragama juga selalu dapat dijalankan, ”ujarnya melalui siaran pers Selasa (14/9/2021).
HNW, demikian sapaan akrab Hidayat, mengatakan bahwa selama ini perbuatan penistaan agama kerap kali diusut dengan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahaan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama atau Pasal 156s KUHP, dengan ancaman maksimal 5 tahun. “UU tersebut hanya terdiri dari 5 pasal, jadi tidak secara komprehensif mengatur perlindungan terhadap Agama atau Simbolnya seperti Rumah Ibadah maupun Kitab Suci,” ujarnya.
Oleh karena itu, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini sedang menyiapkan RUU Pelindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama (RUU PTASA) sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap semua agama yang diakui di Indonesia dan simbol-simbolnya. “Ini seharusnya bisa menjadi fokus prioritas DPR, agar segera bisa diundangkan, agar kejadian penistaan Agama dan Simbol Agama yang meresahkan masyarakat, tidak terulang lagi,” ujarnya.
Anggota Komisi VIII DPR RI yang salah satunya membidangi urusan agama ini mengatakan bahwa dalam draft RUU PTASA telah dijelaskan secara rinci mengenai simbol-simbol agama yang diakui oleh Negara Indonesia dan yang dihormati oleh pemeluk-pemeluknya. Tujuannya selain memberikan kepastian hukum, juga memberi pemahaman terhadap masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran hukum berupa penistaan agama, dan agar agama dan simbol agama yang sangat terkait dengan sila I Pancasila dan pasal 29 UUD 1945, bisa dihormati dan dijaga.
Lebih lanjut, HNW menambahkan bahwa RUU PTASA juga mengatur upaya sistematis dalam melakukan perlindungan. “Jadi, pengaturannya selain memberikan sanksi yang lebih keras, tetapi juga ada upaya preventif, berupa edukasi kepada masyarakat untuk menghormati simbol semua agama yang diakui di Indonesia itu, sehingga tidak menjadi bahan penistaan, lawakan/candaan atau hal-hal lain yang tidak meletakkannya pada posisi yang dihormati,” katanya.*