Hidayatullah.com — Sekretaris Jenderal MUI, Buya Amirsyah Tambunan berpesan agar para dai harus mampu meningkatkan materi dakwahnya masing-masing. Dia mengungkap untuk menjawab tantangan, materi dakwah perlu menekankan pada aspek pemahaman wasathiyatul Islam (Islam Wasathiyah).
Pesan tersebut disampaikan dalam program Standardisasi Kompetensi Dai pada Senin (11/10/2021) di Kantor MUI, Jakarta Pusat. Dalam kegiatan yang diadakan oleh Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah menuturkan Islam Wasathiyah perlu menjadi standar materi para muballigh dalam berdakwah.
“Salah satu contohnya hadis Rasulullah SAW; ‘Hai anak Adam, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan’,” ucapnya.
Menurut Amirsyah, penting untuk memahami makna ifrath (sikap berlebih-lebihan) dan tafrith (sikap hemat ekstrem). Keduanya dapat ditinjau dalam kasus konsumsi makanan atau minuman.
Pertama, ujar Amirsyah, ifrath itu terlalu berlebihan dalam makan atau minum, sebaliknya tafrith terlalu sedikit makan atau minum. Keduanya sama-sama buruk, sebab tubuh manusia memerlukan keseimbangan.
“Tubuh butuh kapasitas yang cukup. Tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit (makan atau minum). Jadi tidak ifrath maupun tafrith,” ujarnya.
Kedua, dia melanjutkan, sikap ifrath dan tafrith juga terdapat dalam corak pemikiran atau ideologi.
Berbagai corak pemikiran bertebaran bebas di mana-mana. Bahkan ada yang bercorak ekstrim dan berbahaya seperti kelompok pemikiran radikalisme kiri, seperti sosialisme, komunisme, dan liberalisme ekonomi.
Amirsyah mengatakan contoh corak pemikiran berbahaya lainnya adalah ekstrem kanan, yang menyalahgunakan doktrin takfiri untuk kepentingan kelompok dan politik-kekuasaan sesaat.
“Akar masalah munculnya esktrim kiri-kanan tersebut karena ketidak adilan seperti penguasaan ekonomi oleh kelompok ologarki yang menyebabkan kesenjangan sosial antara kaya dengan miskin,” sambungnya.
Selain membahas perihal sikap ekstrem tersebut, Buya Amirsyah juga menuturkan pentingnya meluruskan makna moderat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dia mengutip, moderat berarti selalu menghindari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Moderat juga dapat dimaknai berkecenderungan ke arah jalan tengah.
“Contoh pandangan yang cukup moderat, ia mau mempertimbangkan pandangan pihak lain,” ucapnya.
Selain makna tadi, Amirsyah menuturkan, moderat juga memiliki beberapa makna lain. Pertama, moderat adalah sebuah homonim sebab memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Kedua, dalam kelas kata sifat/adjektiva, moderat dapat mengubah makna kata benda atau kata ganti. Artinya, menurutnya, kata moderat dapat memunculkan makna lain dan membuatnya jadi lebih spesifik.
“Untuk itu, moderat belum tentu mampu memahami dan menegakkan nilai-nilai keadilan. Karenanya, kata moderasi harus didasarkan pada nilai keadilan seperti yang terdapat pada Pancasila. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.*