Hidayatullah.com — Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi sikap Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang mendukung Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mengenai pencegahan dan penanganan kekerasaan seksual di perguruan tinggi yang ditolak oleh banyak pihak. Ia mengungkap demi mencapai tujuan pendidikan nasional, Menag semestinya menasehati bukan malah mendukung.
“Seharusnya Menag menasehati Mendikbudristek yang kembali membuat kebijakan yang mengabaikan Agama,” ujar HNW dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (10/11).
HNW menyebut sebelumnya Kemendikbud membuat Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang ditolak publik karena tak sesuai dengan Pancasila dan UUDNRI 1945 dengan sama sekali tidak menyebut frasa agama, akhirnya Peta Jalan tersebut ditarik olh Kemendikbud. Masalah kontroversial itu, ujar HNW, kini malah diulangi dengan dikeluarkannya Permendikbudristek no 30/2021, yg seperti Peta Jalan Pendidikan Nasional, juga mengabaikan Sila 1 Pancasila, UUDNRI 1945 dan Agama.
“Dan seperti Peta Jalan, Permendikbud yang terakhir ini juga mendapatkan penolakan dari masyarakat luas. Karenanya, mestinya Menag menasehati Mendikbudristek agar mengkoreksi, menarik atau merevisi dan tidak mengulangi. Agar semua bersatu padu laksanakan Pancasila dan UUD 1945, agar tujuan Pendidikan dapat diwujudkan. Anehnya, Menag malah mendukung Permendikbud bermasalah itu,” ujar HNW.
Menag Yaqut sebelumnya menyatakan mendukung Menteri Nadiem dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dan akan menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag bagi perguruan tinggi keagamaan negeri di seluruh Indonesia untuk menerapkan hal serupa.
HNW mengatakan sepakat dan prihatin dengan terjadinya kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Namun ia menyebut Permindikbud itu bermuatan ketentuan-ketentuan yang tidak efektif untuk mencegah dan mengatasinya.
“Hanya menyoal satu sisi ‘kekerasan seksual’ dan mengabaikan ‘kejahatan seksual yg banyak terjadi dengan tanpa kekerasan dan bahkan dengan sepersetujuan’ yang juga banyak terjadi di Perguruan Tinggi dengan korbannya dari kalangan Perempuan juga. Permendikbudristek itu karenanya juga tak sesuai dengan ketentuan dasar dalam Pancasila, UUDNRI 1945 serta nilai-nilai Agama dan hukum yg berlaku di Indonesia, yang karenanya juga potensial menggagalkan tercapainya tujuan pendidikan Nasional. Dan terus ngotot memberlakukannya ditengah penolakan yg meluas, juga potensial memecah belah anak Bangsa”, ujarnya.
HNW mengatakan bahwa Menag tentunya mengetahui bahwa dalam beberapa hari terakhir muncul banyak penolakan terhadap Permendikbudristek No.30/2021 agar aturan tersebut dicabut atau direvisi. Kritikan dan penolakan muncul dari kalangan kampus, seperti Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian PP Muhammadiyah, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, dan juga 14 Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI), penolakan juga datang dari Ketua Ikatan Dokter Indonesia bersatu.
“Bahkan, pimpinan Majelis Ulama Indonesia juga mengkritik dan menolak Permendikbudristek tersebut, agar dicabut atau direvisi, seperti yang disampaikan oleh Ketua Bidang Fatwa MUI KH Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, Wasekjend MUI Bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah dan Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis, Ph.D. Semuanya menilai bahwa aturan itu, terutama Pasal 5 ayat (2) bermuatan ketentuan-ketentuan yang bermasalah soal ‘tidak persetujuan’, ungkapnya.
HNW mengingatkan bahwa tujuan pendidikan nasional sudah jelas termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945 sangat menghormati agama dan mementingkan nilai-nilai agama, seperti iman, taqwa, akhlak mulia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. “Dengan demikian, maka Permendikbud ini malah secara tidak langsung menjadi payung aturan yang tidak mempermasalahkan, atau malah melegalkan seka bebas, perzinahan, maupun hubungan seksual lain sekalipun dilarang oleh Agama dan hukum di Indonesia, selama terjadinya tanpa kekerasan dan atau terjadi dengan persetujuan (suka sama suka),” ujarnya.
HNW mengatakan kritik dan penolakan yang disampaikan berangkat dari keprihatinan yang sama yaitu koreksi terhadap kejahatan seksual termasuk kekerasan seksual. Karenanya kritik dan penolakan itu juga sudah menyertakan solusinya, agar peraturan Menteri itu dapat efektif dan tidak malah jadi kontroversi dan menuai penolakan luas.
“Agar permen seperti itu bisa bersatu bersama keprihatinan publik, untuk hadirkan hasil tujuan pendidikan nasional yang diharapkan dengan bisa dicegah dan diatasinya kejahatan dan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi maupun lainnya, untuk bisa wujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana diatur olh UUDNRI 1945,” pungkas HNW.*